Golput (golongan putih) adalah salah satu bentuk perlawanan terhadap praktik politik dari orang-orang yang kecewa terhadap penyelenggaraan negara dengan cara tidak memilih partai atau legislator (dalam pemilu legislatif) atau Presiden (dalam pemilu Presiden).
Mereka yang golput sebagian besar menganggap para penyelenggara negara dan partai-partai yang ada tidak menyuarakan dan pro-kebaikan berpolitik. Jadi, daripada memilih partai yang ada lebih baik tidak memilih siapa pun. Anggapan mereka, partai-partai yang ada akan berperilaku buruk pula bila memenangkan pemilu.
Golput bukanlah organisasi yang diatur oleh instrumen peraturan. Itu juga tidak dikoordinasi melalui sistem manajemen. Golput sekadar penyebutan kepada akumulasi pribadi-pribadi yang tidak ikut pemilu atau ikut pemilu tetapi dengan cara merusak surat suara. Mereka tidak mengenal satu sama lain dan biasanya tidak dikenali, bahkan oleh orang yang terdekat, sekalipun. Tentu saja, ada beberapa orang yang berani mendeklarasikan dirinya adalah golput.
Pengertian golput di atas terbatas pada orang-orang yang secara sadar menentukan pilihan dengan cara tidak memilih. Lebih luas, golput juga mencakup orang-orang yang tidak memilih dengan berbagai alasan yang di luar kuasanya, misalnya tidak tercantum di daftar pemilih tetap, perantau yang tekendala administrasi, tekanan dari pihak lain untuk tidak memilih, kurang kesadaran politiknya, dan kelalaian.
Apakah golput dilarang? Sejauh pengetahuan saya, di negara-negara yang menganut azas demokrasi golput tidak dilarang. Ini mengacu pada prinsip bahwa tidak memilih pun merupakan suatu pilihan. Orang tidak bisa dipaksa untuk memilih terhadap pilihan-pilihan yang menurut penilaiannya tidak ada yang sesuai dengan prinsip politiknya. Di Indonesia, sejauh ini belum ada ketentuan Undang Undang orang yang golput.
Bagaimana dengan orang yang mengajak orang lain untuk golput? Undang Undang kita pun belum secara eksplisit melarang orang untuk itu. Berdasarkan penafsiran hukum, ketentuan hukum terhadap golput terbelah menjadi dua kelompok. Ada kelompok yang berpendapat golput bisa dipidana berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu legislatif:
Pasal 283
Setiap orang yang membantu Pemilih yang dengan sengaja memberitahukan pilihan Pemilih kepada orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Catatan:
Pasal 157
(1) Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain pada saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan Pemilih.
(2) Orang lain yang membantu Pemilih dalam memberikan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan Pemilih.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan kepada Pemilih diatur dengan peraturan KPU.
Pasal 291
Setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu dalam Masa Tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Catatan:
Kaitannya dengan golput adalah ketika survei atau jajak pendapat itu juga terkait dengan golput. Misalnya, jajak pendapat yang menyebutkan persentase golput sehingga memengaruhi orang untuk memilih golput alih-alih memilih kontestan pemilu.
Pasal 301
(3) Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 308
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan, dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara, atau menggagalkan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Beberapa pasal tersebut dalam batasan tertentu memang dapat memidanakan orang yang mengajak golput dengan pemaksaan, baik secara fisik, psikis (karena kedudukannya sehingga memiliki kuasa), maupun secara finansial. Bagaimana jika seorang golput mengajak orang lain tanpa paksaan, misalnya memberikan opini? UU tidak mengaturnya secara eksplisit.
Golput sebagai instrumen perlawanan diam
Menurut KPU (VivaNews, 6/12/2013), pada pemilu legislatif 2009 partisipasi pemilih sebesar 71%. Artinya jumlah golput (dalam arti longgar) terdapat 29%. Sedangkan menurut perkiraan berbagai sumber jumlah golput pada pemilu Presiden 2009 sebesar 40%. Angka-angka golput ini cukup tinggi.
Angka golput yang tinggi berdampak pada longgarnya dukungan kepada pemerintah yang berkuasa (rezim) sehingga berdampak pula pada dukungan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Mungkin secara riil, golput tidak terasa dampaknya secara signifikan. Namun, perlawanan diam dalam bentuk golput ini akan segera menjadi perlawanan yang masif dan agresif ketika bertemu dengan isu-isu besar yang diungkapkan dalam bentuk demonstrasi menentang kebijakan pemerintah.
Dinegara yang para politikusnya koruptif dan manipulatif disertai manuver yang licik sehingga mampu membentuk citra diri dan partai sebagai sosok pembela kepentingan rakyat, golput malah menguntungkan. Hal ini dikarenakan biasanya kaum golput enggan, acuh-tak acuh, atau tahu diri bahwa dirinya golput sehingga tidak terlalu vokal ketika mengkritik pemerintah hasil pemilu. Tentu saja di dalam konteks ini juga berlaku hukum perkecualian.
Partai pemenang pemilu dalam atmosfer politik yang koruptif dan manipulatif tersebut diuntungkan juga dari adanya golput dengan argumentasi yang mirip dengan argumen perilaku politik kaum golput di atas.
Partai-partai konservatif yang kalah pemilu juga diuntungkan dengan adanya golput ini saat mereka sudah tidak mampu lagi meyakinkan kaum golput untuk memilih partainya. Mereka beranggapan bahwa tokoh-tokoh golput lebih baik berada di lingkaran golput daripada mereka berada di partai lain, terlebih lagi bila berada di partai pemenang pemilu. Ini karena kekuatan argumentatif yang biasanya dimiliki tokoh-tokoh golput. Realitas politik mengindikasikan bahwa kaum golput yang sadar dirinya memilih golput biasanya adalah kaum yang relatif memiliki pengetahuan politik yang lumayan cerdas, daya kritis yang tajam, dan status sosial-ekonomi menengah atas.
Di luar itu semua, idealnya dalam negara yang mengedepankan kebersamaan, tidak ada rakyat yang golput. Negara dianggap sebagai urusan bersama demi kesejahteraan bersama sehingga perlu dibenahi oleh seluruh komponen dalam masyarakat secara bersama-sama. Namun, kenyataannya adalah sulit untuk meniadakan golput sama sekali.
Hal yang perlu dilakukan untuk meminimalkan golput adalah dengan mempraktikkan politik yang mulia, yang dilakukan seadil mungkin, sejujur mungkin, sebersih mungkin disertai niat untuk memperbaiki dan memuliakan negaranya. Bagaimanapun, kinerja politik suatu bangsa akan lebih baik hasilnya bila dilakukan secara gotong-royong yang melibatkan semua komponen masyarakat. Bila tidak demikian, maka golput akan semakin besar dan menjadi duri di dalam daging dalam praktik politik bangsa.