Kata golput adalah singkatan dari
golongan putih. Makna inti dari kata golput adalah tidak menggunakan hak pilih
dalam pemilu dengan berbagai faktor dan alasan. Fenomena golput sudah terjadi
sejak diselenggarakan pemilu pertama tahun 1955, akibat ketidaktahuan atau
kurangnya informasi tentang penyelenggaraan pemilu. Biasanya mereka tidak
datang ke tempat pemungutan suara.
Istilah golput muncul pertama kali
menjelang pemilu pertama zaman Orde Baru tahun 1971. Pemrakarsa sikap untuk
tidak memilih itu, antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam
Malujo Sumali. Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main
berdemokrasi tidak ditegakkan, cenderung diinjak-injak.
Menurut beberapa pakar politik,
seperti Arbi Sanit, golput adalah gerakan protes politik yang didasarkan pada
segenap problem kebangsaan, sasaran protes dari dari gerakan golput adalah
penyelenggaraan pemilu. Berbeda dengan kelompok pemilih yang tidak menggunakan
hak pilih karena berhalangan di luar kontrolnya. Kaum golput menggunakan hak
pilih dengan tiga kemungkinan :
- Pertama, menusuk lebih dari satu gambar partai.
- Kedua , menusuk bagian putih dari kartu suara.
- Ketiga, tidak mendatangi kotak suara dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih.
- Jadi golput adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas menolak memberikan suara dalam pemilu.
- Orang-orang yang berhalangan hadir di Tempat Pemungutan Suara (TPS) hanya karena alasan teknis, seperti jauhnya TPS atau terluput dari pendaftaran, otomatis dikeluarkan dari kategori golput.
Sementara Eep Saefulloh Fatah,
mengklasifikasikan golput atas empat golongan.
- Golput teknis, yakni mereka yang karena sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah.
- Golput teknis-politis, seperti mereka yang tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain (lembaga statistik, penyelenggara pemilu).
- Golput politis, yakni mereka yang merasa tak punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pemilu legislatif/pemilukada akan membawa perubahan dan perbaikan.
- Golput ideologis, yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain.
Sedangkan menurut Novel Ali
(1999;22) di Indonesia terdapat dua kelompok golput.
- Kelompok golput awam. Yaitu mereka yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik kelompok ini tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif saja.
- Kelompok golput pilihan. Yaitu mereka yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena alasan politik. Misalnya tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada. Atau karena mereka menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang belum ada. dan berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis politik mereka jauh lebih tinggi dibandingkan golput awam. Golput pilihan ini memiliki kemampuan analisis politik yang tidak cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga pada tingkat evaluasi.
Seandainya
golput akan di organisasi, Menurut Roni Nitibaskara, akan menjadi semacam
partai atau gerakan oposisi yang harus mempunyai alibi ideologis yang dapat
diterima semua peserta golput. Realitas ini kecil kemungkinannya terbentuk
karena banyak alasan mengapa orang tidak memberikan suaranya.
Kesamaan
dalam golput hanya dalam hal memilih untuk tidak memilih.