Menurut yang dikatakan pak Mustofa Nahrawardaya pada acara acara Debat TvOne pas 16 Desember 2013 kemarin, alasan kenapa golput itu diharamkan, karena dalam Islam, mengangkat pemimpin itu wajib hukumnya.
Makanya kalau orang yang golput, nggak ikut memilih siapa yang mau dijadiin presiden, berarti dia meninggalkan kewajiban. Begitu dalihnya.
“Barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’ah (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.”
[HR. Muslim]
Coba simak ayat di atas dengan saksama. Saya memberikan tanda tebal pada kata "Taatilah". Kata "taatilah" tersebut hanya disuguhi dua kali. Hanya disuguhi untuk perujukan kepada Allah, dan RasulNya. Tapi, tidak disuguhkan kembali kepada pemimpin (ulil amri). Itu berarti, ada kepengecualian dalam ketaatan pada pemimpin.Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.[QS. An-Nisaa' (4): 59]
Kewajiban Taat Hanya Sebatas dalam Kebaikan
Diriwayatkan dari sebuah hadits shahih Bukhari dan Muslim, suatu ketika,
Nabi mengutus sekitar 400 pasukan. Dan diantara mereka itu, ada
pemimpinnya yang bernama Abdullah ibn Huzaifah. Beberapa waktu kemudian, karena suatu kejadian, si Abdullah ibn Huzaifah
tersebut lagi marah-marah. Jadinya, dia bilang ke para pasukannya,
"Hei, kan Rasul pernah bilang, bahwa kalian harus patuh sama aku kan?
Nah, kalau gitu, sekarang ini aku mau ngasih tugas buat kalian. Coba,
kalian kumpulin banyak-banyak kayu. Terus, kalian bakarlah kayu-kayu
tersebut. Lalu, masuklah kalian ke dalam api tersebut!"
Di lain waktu, kejadian ini diadukan kepada Rasulullah. Kemudian, apa
kata Rasul? Rasul bilang, "Andaikan mereka masuk api itu, niscaya tidak
akan keluar selamanya. Sesungguhnya kewajiban patuh (taat) itu hanya
dalam kebaikan."
Pertanyaannya: Apa Pemimpin Kita Mengajak Kita untuk Patuh dalam Kebaikan?
Jawabannya, tidak. Karena pemimpin sekarang itu, tidak membuat hukum
berdasarkan Al-Qur'an dan Assunnah. Coba lihat, pemimpin yang sekarang
itu, melegalkan tempat pelacuran, penggunaan riba, dan maksiat lainnya.
Kita lihat saja segelintir faktanya dulu. Setelah disurvey, CD Porno
beredar sebanyak 1 juta dalam 1 hari. Mungkinkah penegak hukum nggak
tahu hal tersebut? Di Glodok Jakarta tuh, kemarin saya kesana, banyak
tuh. Dan menurut survey pula, ternyata, kebanyakan dari kasus aborsi,
HIV-AIDS, dan sebagainya, ternyata berakar dari motivasi hasil
penontonan film Porno.
Ada pula, di Jalan Yosudarso Jakarta, sebuah tempat pelacuran. Dan
kerennya, 500 meter dari sana ada Polres Jakarta Utara. Masak sih Polres
nggak tahu? Pasti tahu. Tapi, mereka nggak bertindak.
Seandainya orang-orang Islam yang menginginkan hilangnya maksiat,
bertindak menghacurkan pelacuran tersebut, apa yang terjadi? Malahan,
mereka masuk berita, bahwa orang-orang Islam itu kasar dan kurang ajar.
Sekiranya polisi yang bertindak, apa polisinya dikatakan kasar dan
kurang ajar? Tidak. Karena itu legal.
Begitulah. Di sistem negeri ini, maksiat dilegalkan. Sedangkan keta'atan, dicuekin. Padahal, pas Daulah Khilafah belum pecah,
terjadi sebaliknya. Sampai-sampai, orang yang tidak sholat itu artinya
kriminal. Kalau sekarang? Kalau sekarang, sholat itu hukumnya mubah.
Kalau mau sholat, silahkan. Nggak sholat, yah silahkan juga.
Yah, sekali lagi, itulah akibat dari sistem demokrasi yang kufur.
Memaksa kita untuk berkufur. Sehingga kita jadinya sulit terhindar dari
riba, sulit tidak memandang aurat perempuan, dan sulit menghindari maksiat-maksiat lainnya.
Karena memang, dalam negara demokrasi, hukum-hukum itu berasal dari
nafsu manusia. Padahal, hanya Allahlah yang berhak memberikan hukum.
Makanya, dalam ebook Job Desc Pertama Remaja,
saya jelaskan panjang lebar, bahwa akibat dari beriman pada Allah,
adalah ngerjain segala yang diperintahkan Allah. Jangan separuh-separuh.
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara kaffah (menyeluruh), dan janganlah kalian mengikuti jejak-jejak syaithan karena sesungguhnya syaithan adalah musuh besar bagi kalian.”[Al-Baqarah (2): 208]
Demokrasi: Bentuk Kurang Ajar Kepada Allah
Kalau dalam demokrasi, hukum Allah itu nggak mutlak. Apa yang udah Allah
bilang halal dan haram di Al-Qur'an, belum tentu harus dituruti. Yang
mutlak itu, adalah hal-hal yang berasal dari suara terbanyak.
Misalnya begini. Gimana kalau kita diskusiin, besok kita sholat shubuh
atau nggak? Yuk, yang setuju kalau besok kita sholat shubuh, angkat
tangan! Yang nggak setuju, nggak usah angkat tangan. Nah, kalau yang
nggak setuju besok sholat shubuh lebih banyak angkat tangan gimana?
Jadinya kita nggak sholat shubuh?
Tampak sekali, kekurangajaran dari sistem demokrasi. Padahal, dalam
Islam, yang wajib itu harus segera dilakukan, dan yang haram harus
segera ditinggalkan. Kita ta'at karena landasan aqidah dan iman.
Sedangkan Demokrasi, merasa lebih pinter daripada Allah, sampe-sampe dia
mencampakkan hukum-hukum Allah. Tidak heran, jumlah golput meningkat
melulu setiap waktu.
Bagus itu. Karena golput itu bisa jadi sebuah kritik buat para pemimpin.
Supaya mereka meninggalkan sistem Demokrasi, dan loyal dengan sistem
Islam.
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.”
[HR. Muslim]
Jelas, Golput itu Wajib
Itu berarti, sekiranya kita ikut pemilu, yang notabene menerapkan sistem
demokrasi, berarti kita sama dengan ikut melegalkan sistem kufur
tersebut. Kesimpulannya, syarat dari pengangkatan pemimpin adalah:
- Pemimpinnya amanah
- Sistem kepemimpinannya amanah
Kalau pemimpinnya nggak hobi dengan Al-Qur'an dan Assunnah? Yah ngapain kita ta'atin? Jadi jelas, golput itu wajib.