Home » , , » Sejarah Golput

Sejarah Golput

Written By Unknown on 1/17/2014 | 1/17/2014

Pemilu disajikan untuk mengetahui keinginan dan kehendak masyarakat tentang apa dan siapa dalam ukuran logika rakyat yang layak untuk memimpin, memberikan perubahan ataupun perbaikan nasib bagi seluruh rakyat dalam suatu negara.

Partisipasi menjadi penting guna menentukan dan menilai penguasa. Pada masa orde baru, penguasa bercorak militeristik begitu kuat, kelompok civil society tak berdaya membendung berbagai kebijakan tak populis. Kondisi demikian mendorong sekelompok intelektual yang dikomandoi Arif Budiman untuk menentang ketidak adilan struktural lewat gerakan moral. Gerakan moral ini kemudian dikenal dengan golongan putih (golput) yang dicetuskan pada 3 Juni 1971, sebulan menjelang pemilu.

Pada awalnya golput merupakan gerakan untuk melahirkan tradisi di mana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apapun. Gerakan itu lahir didorong oleh kenyataan bahwa dengan atau tanpa pemilu, sistem politik waktu itu tetaplah bertopang kepada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Lebih-lebih dengan berbagai cara, penguasa melindungi dan mendorong kemenangan Golongan Karya (Golkar), sehingga meminggirkan partai politik lain yang berjumlah 10 kontestan untuk dapat bertanding merebut suara secara fair. Jadi, dalam konteks ini, cikal bakal golput merupakan gerakan moral yang ditujukan sebagai “mosi tidak percaya” kepada struktur politik yang coba dibangun oleh penguasa waktu itu.

Gerakan moral ini memberikan kesan pada publik bahwa putih disebandingkan dengan lawannya, yakni hitam, kotor. Pada perkembangan berikutnya, golput dimaknai sebagai protes dalam bentuk ketidakhadiran masyarakat ke tempat pemungutan suara atau keengganan menggunakan hak suaranya secara baik, atau dengan sengaja menusuk tepat dibagian putih kertas suara dengan maksud agar surat suara menjadi tidak sah, dan dengan tujuan agar kertas suara tidak disalah gunakan oleh pihak tertentu untuk kepentingan tertentu pula. Golput juga dimaknai sebagai prilaku apatisme (jenuh) dengan tema-tema pemilihan.

Kejenuhan tersebut disebabkan oleh suatu kondisi psikologis masyarakat yang hampir tiap tahun mengalami pemilu, pilgub, pilkada dan bahkan pilkades. Disisi lain, penyelenggaraan pemilu yang berulang-ulang tak juga memberikan banyak hal terkait perbaikan nasib bagi masyarakat. Pada titik tertentu rasa jenuh tersebut sampai pada rasa tak peduli apakah dirinya masuk dalam daftar pemilih tetap atau tidak sama sekali. Dengan kata lain, golput merupakan akumulasi sikap jenuh masyarakat terhadap seputar pemilu baik janji politik, money politik dan kekerasan politik dan kondisi-kondisi pasca reformasi yang tak kunjung membaik.

Sementara itu Priyatmoko mengartikan golput sebagai keengganan masyarakat menggunakan hak pilihnya pada event pemilu baik pemilihan legislatif, pemilihan presiden maupun kepala daerah disebabkan rasa kecewanya pada sistem politik dan pemilu yang tak banyak memberikan perubahan apapun bagi kehidupan masyarakat. Lain kata, masyarakat dalam taraf ini telah berada dalam taraf kesadaran dalam memaknai pemilu. Bahwa setiap tindakan mereka dikaitkan dengan pertimbangan asas timbal balik secara seimbang.

Dari beberapa pengertian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa golput adalah pilihan tidak memilih sebagai bentuk akumulasi rasa jenuh (apatis) masyarakat yang nyaris setiap tahun mengalami pemilihan kepala daerah, golput juga sebagai reaksi atau protes atas pemerintahan dan partai-partai politik yang tidak menghiraukan suara rakyat, perlawanan terhadap belum membaiknya taraf kehidupan masyarakat baik secara ekonomi, politik, hokum dan budaya. Golput merupakan respon atas ketidakmampuan partai atau penguasa dalam menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat yang telah menerima mandat.
Share this article :
 
Support : Gegana | Revolusi | bgR
Copyright © 2014. Golput Bukan Dosa - All Rights Reserved
Designed by ibZ Published by inD
Proudly powered by Merdeka