Latest Post

Wajib Golput Untuk Indonesia Hebat

Written By Unknown on 1/19/2014 | 1/19/2014

Majelis ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa mengenai pemilihan umum (pemilu). MUI yang terdiri dari berbagai komponen umat islam tersebut memandang penting untuk mengeluarkan fatwa mengenai keikutsertaan umat islam dalam pemilu. Mengingat semakin tingginya angka golput yang menandakan umat mulai apatis terhadap penyelenggara negara.

Fatwa ini kemudian dikenal dengan fatwa "Golput Haram" padahal kalau kita membaca teks-nya, sama sekali tidak ditemui kalimat maupun mafhum (yang dipahami) mengatakan bahwa golput haram. Fatwa ini dikenal dengan "Golput Haram" dikarenakan partai-partai berlabel islam secara bersemangat menyebarkan fatwa ini dengan harapan masyarakat memilih mereka, tanpa menyebarkan teks resmi dari fatwa itu. Fatwa itu kemudian ditafsirkan dengan: wajib memilih (terutama partai berlabel islam).

Fatwa ini kemudian digadang-gadang oleh beberapa pihak (termasuk oknum MUI) yang sepakat dengan konsep demokrasi agar masyarakat yang sebelumnya berniat golput (karena melaihat pemimpin yang bobrok), kemuduan mengurungkan niat golput tersebut karena takut dosa.

Maka perlu dibahas:
1. Apakah indonesia ini negara islam atau bukan (negara kufur)?
2. Apakah demokrasi bersumber dari islam atau dari orang kafir?
3. Apakah dalam sistem sekarang memungkinkan syarat-syarat yang diajukan MUI dalam fatwa tersebut ada di dalam caleg-caleg maupun capres?

Pertama, indonesia jelas bukan negara islam. Hal ini diakui baik oleh yang pro demokrasi maupun yang kontra demokrasi. Misalnya ketika umat islam menuntut agar negara menerapkan syariat islam, pemimpin kita menolak dengan argumen "Indonesia bukan negara islam", bahkan ada yang lebih ekstrim yaitu mengancam akan mengusir dari indonesia jika memaksakan ingin menerapkan syariat islam.
 
Jika dapat dipahami bahwa indonesia bukan negara islam, mengapa ketika pihak yang memiliki kepentingan untuk menang dalam pemilu di negara (yang bukan negara islam) ini menggunakan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga islam? justru ini menjadi hipokrit, bahwa ketika penyelenggaraan negara ini tidak berdasarkan islam tetapi ketika pemilu malah menggunakan fatwa islam agar menang?!

Kedua, Demokrasi jelas bukan dari islam. Demokrasi tidak berasal dari Al-Qur'an, Sunnah, Ijma,dan Qiyas, bahkan kita tidak temui hal ini mucnul dalam peradaban islam (arena peradaban islam saat khilafah masih tegak jauh lebih maju dibandingkan demokrasi yang bobrok). Justru kita menemuinya dari peradaban Yunani kuno dan peradaban modern Prancis, keduanya bukan peradaban islam, maka demokrasi jelas bukan dari islam. Lalu pertanyaannya, kalau memang bukan dari islam, mengapa ketika "pesta demokrasi" islam dijadikan alat agar memenangkan partainya?

Ketiga, Syarat yang ditetapkan dalam fatwa MUI adalah sebagai berikut:
1. Beriman
2. Bertaqwa
3. Jujur
4. Terpercaya
5. Aktif
6. Aspiratif
7. Memperjuangkan kepentingan umat

Beriman adalah membenarkan secara pasti segala yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Termasuk dalam hal menerapkan syariat islam secara kaffah, bukan sepotong-potong. Umat islam wajib meyakini bahwa syariat islam adalah yang terbaik dibandingkan dengan hukum-hukum lain. Apakah ada caleg yang meyakini demikian, yaitu yakin bahwa syariat islam lebih baik dibandingkan hukum lain (misalnya UUD 45 dan Pancasila) secara terang-terangan dalam kampanyenya? tentu tidak, sebab jika ada pasti akan digagalkan pencalonannya oleh KPU atau akan dipecat oleh partainya.

Bertaqwa adalah menjalankan SEMUA perintah ALLAH dan menjauhi SEMUA larangan ALLAH. Termasuk didalamnya adalah menjalankan SEMUA hukum ALLAH terkait pemerintahan, misalnya tentang hudud (sanksi seperti potong tangan untuk pencuri, rajam untuk pezina muhsan, dll), pemilihan khalifah tunggal untuk seluruh umat islam, sistem ekonomi (iqtishadi) bebas ribawi dan judi, sistem pergaulan laki-laki dan perepuan (ijtimai), penarikan zakat kepada umat  islam, jizyah (pajak untuk orang kafir yang kaya), kharaj (pajak tanah untuk tanah yang dibebaskan dengan perang), menghapus pajak kecuali jika kas negara kosong, dan masih banyak lagi. Apakah ada caleg atau partai yang akan menerapkan itu semua? tentu TIDAK ADA, sebab dari awal mereka disumpah untuk taat dan patuh pada UUD 45 dan Pancasila dan bukan patuh pada Al-Qur;an, Sunnah, Ijma, dan Qiyas.

Kedua poin diatas sudah cukup menjadi penjelasan bahwa memang TIDAK ADA caleg atau partai atau capres yang memenuhi kriteria fatwa MUI untuk dipilih. Maka Golput 2014 itu tidak haram, bahkan wajib hukumnya untuk golput (tidak memilih) calon thaghut tersebut karena mereka hanya akan menjadi arbab min dunillah (tuhan-tuhan selain Allah) yang menerapkan hukum yang tidak didasarkan pada Al-Qur'an, Sunnah, Ijma, dan Qiyas.

Ketika menafsirkan surat Al Maidah ayat 50, Ibnu Katsir berkata: ” Dan firman Allah [artinya:" Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?"], Allah Ta’ala mengingkari orang yang berpaling dari hukum Allah -hukum yang telah muhkam (kokoh), meliputi seluruh kebaikan dan mencegah setiap keburukan- kemudian orang tersebut justru berpaling kepada yang lain, berupa pandangan-pandangan, hawa nafsu dan berbagai peristilahan yang dibuat oleh manusia tanpa bersandar kepada Syariat Allah, sebagaimana masyarakat jahiliyah berhukum kepada kesesatan dan kebodohan, hukum yang mereka buat berdasarkan pandangan dan hawa nafsu mereka. Sama halnya seperti Bangsa Tartar yang berhukum dengan kebijakan-kebijakan kerajaan yang diambil dari keputusan raja mereka, Jengiskhan, raja yang telah menyusun al Yasaq untuk mereka, yaitu kitab kumpulan hukum yang diramu dari berbagai syariat yang berbeda, termasuk dari Yahudi, Nasrani dan Islam. Di dalamnya juga terdapat banyak hukum yang semata-mata dia ambil dari pandangan dan hawa nafsunya. Kitab itu kemudian berubah menjadi syariat yang diikuti oleh anak keturunannya, yang lebih diutamakan ketimbang hukum yang diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.

Barangsiapa melakukan hal tersebut maka dia telah kafir. Ia wajib diperangi sampai mau kembali merujuk kepada hukum Allah dan RasulNya, sampai dia tidak berhukum kecuali dengannya (Kitab dan Sunnah) baik sedikit maupun banyak.”Ibnu Katsir melanjutkan: “Allah berfirman {ุฃَูَุญُูƒْู…َ ุงู„ْุฌَุงู‡ِู„ِูŠَّุฉِ ูŠَุจْุบُูˆู†َ} artinya: “apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki?”, yaitu: (apakah) mereka mencari dan menghendaki (hukum jahiliyah), sementara terhadap hukum Allah mereka berpaling? {ูˆَู…َู†ْ ุฃَุญْุณَู†ُ ู…ِู†َ ุงู„ู„َّู‡ِ ุญُูƒْู…ًุง ู„ِู‚َูˆْู…ٍ ูŠُูˆู‚ِู†ُูˆู†َ} artinya: “dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?”, Yaitu: siapakah yang lebih adil dari Allah dalam hukumnya bagi orang yang memahami syariat Allah dan beriman, yakin serta mengetahui bahwa Allah Ta’ala adalah Pemberi Keputusan yang paling bijaksana (ahkamul hakimin), lebih mengasihi makhluqnya ketimbang kasih-sayang seorang ibu kepada anaknya. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Dzat yang mengetahui segala sesuatu, Dzat yang berkuasa atas segala sesuatu, dan Dzat yang Adil dalam segala sesuatu”.

Mobil Golput Pertama Di Indonesia

Rabu (4/3/2009) Tugu Kujang Bogor pukul 10.00 WIB, banyak warga yang tersita perhatiannya dengan keberadaan  sebuah mobil Nissan Xtrail. Selain nomor polisinya yang mencuri perhatian, B 18 LIS, kemudian juga terparkir tidak lazim di atas pelataran jalan di depan Botani Square, hal menarik lainnya adalah mobil hitam itu penuh coretan tanda tangan dan tulisan berwarna putih. Ada apa?

Ternyata, mobil itu adalah milik Ki Gendeng Pamungkas, salah satu tokoh penggerak Golput yang mukim di Bogor. Mobil yang diakui Ki Gendeng baru dibelinya dua minggu lalu ini dijadikan sarana curhat warga atau bentuk dukungan terhadap ajakan Golput yang didengungkan Ki Gendeng jelang Pemilu Legislatif (Pileg)  April mendatang, dengan cara menulis unek-unek atau sekedar membubuhi tandatangan dan juga sokongan untuk gerakan GOLPUT yang di gembar–gemborkannya.

Banyak warga yang antusias dan ikut berpartisipasi untuk membubuhkan aspirasinya di media yang disediakan ki Gendeng itu. Merkea tidak hanya datang dari golongan tertentu, tapi berbagai lapis usia dan juga latarbelakang. Tidak sedikit juga yang berasal dari mahasiswa/siswi Universitas tertentu. Menurut warga  yang kebetulan melintas di lokasi tersebut mengatakan, hal yang dilakukan Ki Gendeng adalah wajar dan sah. Golput, menurutnya adalah sebuah pilihan juga. “Wajarlah ajakan golput ini terus diserukan, dan tergantung masyarakat nantinya mau mencoblos atau tidak,” tuturnya, usai membubuhi tanda tangan di mobil Ki Gendeng.

Sedangkan, menurut Ki Gendeng, aksi yang dilakukannya  di Tugu Kujang, Bogor dilakukan atas keinginan sendiri, Alasannya, ia tidak lagi  percaya dengan partai politik. Ki Gendeng juga menyatakan, bahwa dirinya tidak takut kalau ada sanksi yang akan diberikan oleh pihak keamanan terhadap aksinya tersebut. “Jelas aksi ini bukan tindakan pidana. Jadi apa yang harus ditakutkan,” tegasnya.

Dalam waktu dekat, lanjut Ki Gendeng, mobil yang sudah dipenuhi tanda tangan tersebut akan diperlihatkan kepada KPU kota Bogor dan KPU Pusat. Maksudnya, agar penyelenggara pemilu tahu apabila tidak semua warga yang menginginkan diadakannya sebuah pemilu.

Golput itu Halal Dan Akan Terus Bertambah

Lembaga Survei indonesia (LSI) memprediksi kecendrungan rakyat untuk tak memilih (golput) pada pemilu 2014 makin banyak. Hal tersebut terjadi karena citra partai politik yang makin buruk dimata publik.

"Kami mencermati, pada tiga kali pemilu legislatif terakhir tingkat partisipasi pemilih terus menurun drastis yang artinya tingkat kenaikan golput meningkat tajam," kata Direktur LSI, Burhanuddin Muhtadi di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis (23/2).

Menurut Burhanuddin, LSI mencermati tren kecenderungan golput yang meningkat melalui hasil survei yakni pada pemilu legisllatif 1999 jumlah golput hanya sebesar 6,3 persen, pada pemilu 2004 menjadi sekitar 16 persen, dan pada pemilu 2009 meningkat lagi menjadi 29,1 persen.

Ia meninai kecenderungan peningkatan pemilih golput sangat tajam dalam tiga kali pemilu terakhir. Burhan membandingkan dengan negara-negara maju, terutama Amerika Serikat yang menerapkan sistem demokrasi, tren peningkatan pemilih golput hingga 40 persen baru terakumulasi selama sekitar 200 tahun.

"Di Indonesia, hanya dalam waktu 12 tahun, pemilih golput sudah meningkat menjadi 29 persen," katanya.

Direktur LSI ini menilai, fenomena perilaku masyarakat terhadap penggunaan hak pilihnya cukup aneh. Di satu sisi tetap percaya pada demokrasi, tapi di sisi lain kepercayaannya kepada partai politik terus menurun.

Menyikapi sejumlah politisi yang tersangkut kasus hukum dan menjalani proses persidangan, ia menilai, kondisi saat ini makin menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap partai politik sekaligus sulit menentukan pilihan siapa calon presiden yang layak untuk dipilih.

Tidak Memilih Juga Pilihan

Tahun depan Indonesia (2014) kembali menggelar pesta demokrasi. Demokrasi Indonesia sendiri merupakan hasil eraman Reformasi tahun 1998. Lima  belas tahun yang lalu era reformasi bergulir setelah berhasil menggulingkan orde baru yang otoriter. Reformasi diharapkan membawa bangsa dan negara Indonesia ke arah yang lebih baik, di mana kemakmuran dan kemaslahatan rakyat bisa dirasakan dengan lebih merata. Sayangnya, ini sering kali hanya menjadi platform partai-partai yang bergulat dalam memenangkan suara.

Sepanjang 2013 sendiri, rakyat kita kerap terlibat dalam pesta demokrasi dalam sekup regional, yakni Pemilukada yang meliputi pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota bahkan sampai pemilihan kepala desa. Pesta-pesta inipun rupanya berhasil dijadikan momentum pergulatan bagi para politisi untuk mendulang suara dan menaikkan rating partainya.

Sementara itu, sebagian kecil masyarakat yang tidak mau “ambil pusing” dalam menentukan pilihan suaranya masih mengiringi proses domokratisasi di negeri ini. Mereka mamaknai demokrasi sebagai sebuah kebebasan untuk memilih. Memilih untuk “memilih” salah satu kandidat atau memilih untuk “tidak memilih” sama sekali. Bisa juga memilih untuk “memilih” semua kandidat. Intinya suara mereka tidak dapat diperhitungkan saat penghitungan suara. Masyarakat seperti yang saya sebut di atas biasa dikenal sebagai Golongan Putih (Golput).

Golput sendiri disinyalir sebagai sebuah reflection progress sekaligus reaksi dari sebagian pemilih terhadap keadaan politik tertentu. Alasan klasiknya adalah kekecewaan dan ketidakpercayaan mereka terhadap kandidat-kandidat yang ada. Pada titik inilah golput membingkai menjadi sebuah krisis politik yang paling halus namun memiliki dampak yang harus diperhitungkan.

Tabloid Golput Pertama Di Indonesia

Written By Unknown on 1/18/2014 | 1/18/2014

Dengan diterbitkannya Tabloid Golput edisi pertama oleh Presiden Golput Indonesia Ki Gendeng Pamungkas di Bogor, jelas itu sebuah terobosan besar sekaligus tabloid pertama kali dinegeri ini yang memberikan arti, tujuan atau alasan golput itu sendiri.

Ki Gendeng Pamungkas sebagai pelopor tabloid tersebut menjelaskan visi-misi dalam gerakan golput sebagai aksi protes keras terhadap parpol dan pemerintahan dibawah kendali busuk para elit politikus bangsa ini. (IbZ)

Golput Rasional Politik

Angka Golput di Indonesia semakin lama semakin meningkat. Tengok saja saat Susilo Bambang Yudhoyonoterpilih menjadi presiden untuk yang kedua kalinya pada 2009. Rata-rata Golput mencapai 40% dari keseluruhan jumlah pemilih. Hal ini dikarenakan adanya masalah sosial masyarakat.

Kondisi yang sama juga berlangsung saat pemilihan gubernur maupun walikota. Dalam setiap pemilu, kelompok putih ini selalu menyertainya. Di Jawa Barat misalnya, ketika Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur, angka Golput cukup signifikan.Ada orang yang menganggap Golput sebagai masalah sosial masyarakat.

Puncaknya ketika MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap Golput. Ada pula yang menganggapnya sebagai pilihan rasional di tengah kondisi politik yang tidak menentu, tidak membawa hasil yang memuaskan.

Apa yang menyebabkan Golput menjadi suatu pilihan bagi masyarakat, mengapa semakin lama jumlahnya semakin bertambah? Apakah keberadaan dan pertambahan jumlah Golput menyebabkan terjadinya keburukan pada politik atau malah sebaliknya, membawa manfaat bagi perbaikan politik kita?

Pilihan Orang

Dalam bernegara, tentu setiap orang diberi hak untuk memilih dan dipilih. Golput juga disebut pilihan oleh sebagian orang yang mendukungnya. Mari kita sejenak meninggalkan polemik hukum tentang Golput, dan kita berusaha melihatnya sebagai masalah sosial yang terjadi di tubuh masyarakat.

Politik dan keterlibatan masyarakat di dalamnya memang banyak disebabkan oleh faktor-faktor tertentu. Tingkat pendidikan seseorang dalam hal ini pun sangat berpengaruh. Tengok saja orang yang sebagian besar hidup dalam pendidikan rendah dan ekonomi sulit.

Biasanya mereka sangat antusias dalam mengikuti kampanye pertarungan politik. Bukan aneh lagi, jika di dalamnya terdapat money politic yang membuat mereka ikut bergabung. Kebutuhan akan uang dan kebutuhan pokok menjadi incaran para pencari kesempatan dalam kampanye politik.

Setelah pemilu selesai mereka pun pada akhirnya menjadi kelompok yang paling banyak dirugikan dan tertipu secara langsung. Namun ibarat rutinitas, ketika pemilu berikutnya datang, mereka pun menyambutnya dengan antusias. Uang dan uang yang mereka inginkan.

Di sisi lain, Golput biasanya muncul dari kelompok minoritas yang kecewa. Mereka bukan dari kalangan intelektual, tetapi mereka yang pernah terlibat dalam lingkaran politik walaupun dalam skala yang kecil. Entah itu sebagai tim sukses, pendukung, atau pemilih pemula.

Biasanya, sebagian di antara mereka berpindah ke lain pilihan, tetapi sebagian lain langsung memilih untuk Golput. Kekecewaan merupakan dorongan psikologis yang besar bagi mereka dalam kelompok ini.

Kelompok terakhir adalah kelompok intelektual yang katakanlah ‘tercerahkan’. Mereka milih Golput bukan karena kekecewaan belaka, tetapi lebih pada bentuk perlawanan. Kesadaran ini mereka dapatkan dari bentuk refleksi dan persentuhan dengan dunia politik beserta pemikirannya. Jumlah mereka memang sangat kecil, namun pengaruhnya sangat besar.

Hukum Golput

Golput memang diakui secara hukum sebagai suatu pilihan. Jika mereka Golput atas kesadaran sendiri itu tidak dilarang, namun jika mereka mengajak orang lain itu akan dikenakan hukuman. Begitu kurang lebih Golput menurut hukum yang berlaku di Indonesia.

Ketika kita bicara soal kesadaran, tentu kesadaran itu harus kita tularkan kepada orang lain supaya ikut sadar atau tersadarkan. Tapi dalam urusan Golput di Indonesia menjadi lain. Jika Anda sadar bahwa politik ini tidak benar dan Anda secara sadar memilih Golput, lalu Anda mencoba menyadarkan pula orang lain, Anda malah terkena hukuman penjara. Menyadarkan memang secara otomatis mengajak orang untuk Golput juga, namun posisi kesadaran dalam kondisi ini menjadi sangat rancu.

Kesadaran seolah tidak boleh disebarluaskan dan sengaja membiarkan orang lain dalam kondisi yang tidak sadar. Mungkinkah itu yang dikehendaki dalam hukum tentang Golput?. Yang jelas ketika Anda menyadarkan orang lain, Anda berhadapan dengan sebuah ancaman.

Ancaman yang bisa atau mungkin dapat terkena pada kita adalah hukuman penjara. Secar hukum perbuatan yang menyadarkan orang lain untuk golput adalah melanggar hukum. Dikatakan melanggar hukum karena dengan secara sadar mengajak orang lain untuk ikut golput juga.

Hukum tersebut mungkin bagi sebagian orang akan bermakna rancu. Dalam hukum tersebut diperbolehkan untuk perorangan agar memilih golput tetapi tidak boleh mengajak orang untuk golput.

Hukum ini dibuat agar semua orang ikut berpartisipasi dalam ajang acara nasional yakni pemilu. Pemilu dipandang sebagai proses demokrasi. Proses yang mencerminkan kekuatan rakyat. Sebagaiamana slogan-slogan yang sering kita dengan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat.

Jika banyak orang yang golput maka pesta rakyat ini pun tidak dapat berjalan dengan mulus. Bagaimana bisa berjalan dengan mulus jikalau peserta pesta tidak ada.

Permasalahan dalam tatacara aturan hukum ini terjadi jika orang yang golput didekati orang yang tidak golput. Tentunya akan muncul sejumlah pertanyaan dari orang yang tidak golput kepada orang yang golput.

Dari pertanyaan yang diajukan oleh orang yang tidak golput pasti dijawab oleh orang yang golput. Setiap pertanyaan  tentunya akan dijawab sesuai dengan hati nurani dari orang yang golput dengan alasan yang logis pula. Dari sini pertukaran pikiran pun terjadi.

Dengan terjadinya pertukaran pikiran tersebut maka akan terjadi gesekan pemikiran dari keduanya. Efeknya atau hasil gesekan tersebut bisa beraneka macam. Bisa saja yang semula golput menjadi tidak golput. Namun bisa juga sebaliknya yakni yang semula tidak golput menjadi ikut golput.

Jika ini yang terjadi maka jika diterapkan hukum di atas bisa saja orang yang golput tadi terkena pasal hukum. Orang tersebut kena pasal hukum sebab dia telah mengajak orang lain untuk ikut golput. Walaupun ajakannya tidak terlihat secara jelas.

Padahal jika dilihat dari kasus di atas adalah orang yang tidak golput mendatangi orang yang golput dan bukan orang yang golput mengajak orang yang tidak golput untuk ikut golput. Tetapi karena gesekkan pemikiran yang terjadi antar keduanya inilah yang mengakibatkan pertukaran pendapat.

Terjadinya pertukaran pendapat tersebutlah yang bisa memberikan efek pada orang lain. Bisa berefek negatif bisa bisa pula berefek positif. Yang jelas semuanya ada akibatnya.

Alasan Golput

Secara analisis tingginya golput merupakan bukti bahwa masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan pesta demokrasi yang berjalan di negeri ini. Perlu tenaga ekstra untuk kembali menyadarkan kepada masyarakat akan pentingnya pesta rakyat ini.

Tujuan dari diadakannya pemilu tidak lain adalah memilih pemimpin negeri ini. Tanpa adanya pemimpin maka ibarat sebuah kapal yang tidak memiliki nahkoda atau kapten. Tentunya kapal tersebut akan terombang-ambing tidak karuan arahnya.

Tentunya kita tidak ingin ini terjadi pada negara yang kita cintai ini. Negara yang penuh dengan warna. Berbagai macam suku dan budaya ada di negara kita.  Negara kita adalah negara kaya tetapi miskin.

Dikatakan kaya karena negara kita memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Kekayaan alam akan hutan yang luas serta sumber alam tambang yang melimpah ruah. Semua hal tersebut ada dan dimiliki oleh negara kita tercinta ini. Tetapi sebagian orang menganggap negara kita ini miskin walaupun memiliki sumber daya alam yang luar biasa banyaknya.

Negara kita dikatakan miskin karena pada dasarnya masih banyak rakyat dari negara kita yang hidup di bawah garis kemiskinan. Masih banyak penduduk negara ini yang tingkat pendidikannya sangat rendah. Hal ini tidak sepadan jika dibandingkan dengan kekayaan alam yang dimiliki oleh negara ini.

Selain itu masalah sosial masyarakat pun semakin banyak dan kompleks. Berbagai kesenjangan sosial selalu terjadi. Di berbagai daerah selalu ada dan timbul masalah sosial masyarakat. Pemerintah pun juga sudah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengatasi masalah sosial masyarakat tersebut. Namun hasilnya masih belum bisa dirasakan.

Pergantian pemimpin yang merupakan puncak dari acara pesta demokrasi pun tidak menghasilkan perubahan yang signifikan. Dari satu pemimpin ke pemimpin yang lain tidak mampu memberikan kepuasaan terhadap sebagian masyarakat. Karena inilah akhirnya muncul orang yang golput dalam pemilu.

Bukan salah mereka untuk memilih golput. Harusnya kita menumbuhkembangkan lagi kepercayaan yang ada pada sebagian orang yang golput untuk tidak lagi golput. Sebagai sebuah catatan bahwa tidak boleh ada pemaksaan atau saling menyalahkan karena semuanya memiliki alasan yang dibenarkan oleh hukum. Marilah kita saling menjaga keharmonisan yang ada di masyarakat agar masalah sosial masyarakat tidak lagi muncul.

Masalah sosial masyarakat bukan hanya masalah golput saja. Masih banyak masalah sosial masyarakat lainnya yang juga harus kita perhatikan. Jangan jadikan golput sebagai masalah sosial masyarakat yang utama karena masih banyak masalah sosial masyarakat lainnya yang jauh lebih penting.

Golput: Suara Perlawanan

Koruptor takut sama siapa?

Dia tak takut dengan puisi hujatan..
Tidak juga dengan sajak makian..
Dia juga tak takut masuk bui..
Apalagi dengan ayat-ayat Tuhan..

Satu yang dia sangat takuti..
Sangat ia musuhi dan dibully..

Ia takut dengan puisi ajakan GOLPUT..
Ia khawatir dengan sajak-sajak GOLPUT..
Ia takut dengan organisasi GOLPUT..
Apalagi kampanye massal mengajak GOLPUT..

Dalil harampun ikut melaknat GOLPUT..
Pasal-pasal hukum juga ikut dilobi..
Agar GOLPUT menjadi basi..
Agar bisa terus korupsi..

Tak korupsi lagi bila tak terpilih..
Itu hukum alam yang berlaku..

Sebab generasi korup penggantinya..
Siap duduk dibekas kursinya..
Mengganti apa yang basah dikursinya..
Begitulah seterusnya..

Para pemilih hanya dikibuli politisi..
Maka, GOLPUT adalah harga mati..
Untuk memunculkan generasi anti korupsi..

Eksistensi Golput Dalam Demokrasi

Perspektif Sejarah

”Tiada asap tanpa api”, demikian kira-kira pepatah yang tepat untuk memahami eksistensi golput. Golput tidak terjadi secara serta merta, tanpa ada penyebabnya. Inilah fakta empiris yang harusnya kita rujuk untuk melihat fenomena golput itu secara komprehensif, tanpa terjebak pada sikap salah-menyalahkan, apalagi haram-mengharamkan. Betapapun benar bahwa tindakan golput itu cenderung mubazir karena tidak akan menghasilkan perubahan apapun, namun eksistensinya yang kontekstual seiring dengan dinamika perjalanan sejarah anak bangsa itu tidak dapat dan tidak boleh digeneralisir sebagai salah keseluruhannya.

Golput telah ada sepanjang sejarah politik bangsa-bangsa, kendati dengan alasan dan konteks yang berbeda-beda. Dan karena perbedaan konteks inilah maka masyarakat harus jeli dan obyektif mensikapi fenomena golput, khususnya hal-hal yang melatarbelakangi kemunculan golput di tiap periode Pemilu. Pada Pemilu 1955, di tengah maraknya kehidupan kepartaian di Indonesia, golput muncul karena didorong oleh perseteruan yang cenderung saling intimidatif antara kaum unitaris dan kaum federalis.

Sementara golput pada tahun 80-an hingga 90-an, lebih dilatarbelakangi karena adanya “paksaan” yang sistematis untuk memilih Golkar sebagai partai pemerintah. Akhirnya gerakan golput menjadi pilihan bagi orang-orang yang takut memilih partai lain di luar Golkar. Golput pada era ini lebih dimotivasi oleh semangat perlawanan terhadap rejim otoriter, yang tidak memberi ruang gerak bagi masyarakat untuk berekspresi, berpolitik dan bersikap beda. Dan semangat ini tetap mewarnai gerakan golput setidaknya hingga akhir era 90-an. Sedangkan, golput pada era pasca Orba cenderung bukan lagi disemangati oleh perlawanan terhadap rejim yang berkuasa, melainkan oleh kekecewaan yang mendalam terhadap sikap para pemimpin pemerintahan, para elite politik dan partai yang dinilai mengkhianati amanat penderitaan rakyat. Beberapa kasus “pembangkangan” dan eksodus kader partai tertentu ke partai lain atau membentuk partai baru – yang pada Pemilu 1999 mencapai 48 partai - dapat menjadi indikasi hal tersebut.

Demikian pula golput pada Pemilu 2004 yang secara umum lebih dipicu oleh kekecewaan terhadap elit-elit partainya serta pada pemerintah yang dianggap tidak mampu memperbaiki nasib rakyatnya. Di samping itu, terjadinya polarisasi kepemimpinan politik dalam masyarakat pun mendorong terjadinya golput atas dasar simbiosis antara patron dan client-nya manakala sang patron tidak terakomodasi dalam struktur politik tertentu. Di samping itu, secara empirik terdapat pula fakta bahwa sebagian masyarakat kita sangat loyal pada partainya, hingga sukar beralih ke partai lain.

Kekecewaan kepada pemimpin dan elite partai tidak serta merta membuat mereka pindah partai, umumnya sekedar menunda memilih sembari menunggu munculnya figur-figur yang mereka sukai, dan kalaupun pindah partai suatu saat dapat pulang kandang karena fanatisme yang bersifat laten. Budaya patron-client yang masih sangat kuat serta tipologi budaya politik karena ideologi “tidak memungkinkan” orang dengan mudah pindah parpol. Rasanya tidak sreg bagi orang PDI-P untuk memilih pindah ke Golkar. Bahkan di antara partai islam sekalipun, bagi orang PKB secara psikologis bukan persoalan mudah mau menyeberang ke PAN atau PPP. Begitu pula sebaliknya, sangat sulit orang yang darahnya PAN beralih ke PKB. Dan seterusnya, dan sebagainya.

Di tengah fenomena inilah maka di samping golput muncul pula fenomena makin nyata dan besarnya jumlah swinging voters, yang beberapa diantaranya cenderung kritis, non-ideologis, ataupun pragmatis. Bila sampai saatnya mereka tidak menemukan pilihan, mereka cenderung menjadi golput oleh sebab ketiadaan wadah (parpol) dan atau figur yang dapat dipercayainya untuk membawa perubahan.
Fenomena di atas tentu menjelaskan perilaku pemilih dalam konteks Parpol, yang tentu sangat berbeda dengan Pilkada yang lebih merupakan kontestasi figur daripada parpol. Itulah sebabnya kenapa pilihan pada parpol tertentu hampir selalu tidak berkorelasi dengan pilihan pada figur calon kepala daerah tertentu. Dan karena fakta inilah maka secara empiris golput dalam Pilkada seringkali unpredictable karena menyangkut apresiasi subyektif pemilih terhadap calon yang dikenal baik track record-nya.

Perspektif Teori

Dalam teori politik, golput (non-voting behaviour) dipahami sebagai bentuk partisipasi politik warga negara yang muncul karena beragam latar belakang. Memilih adalah hak (right) politik warga negara yang by its nature mengandung arti legal or moral entitlement (authority to act), yang mengandung kebebasan pemilik hak itu untuk menggunakan atau tidak menggunakannya. Bukan kewajiban (duty) yang mengandung makna moral or legal obligation. Karena essensi filosofis inilah maka demokrasi – yang bersendi kedaulatan rakyat, dan yang setiap orang legally equal hak-hak politiknya – memberi ruang bagi pilihan untuk golput secara setara dengan pilihan untuk memilih itu.

Dan karena demokrasi meng-agungkan vox populii sebagai vox Dei maka menjadi golput diberi ruang dalam demokrasi, guna meluruskan demokrasi, meluruskan politik dan pemerintahan yang korup melalui gerakan moral. Ya, hanya gerakan moral, karena hanya itulah yang mampu dilakukan rakyat kebanyakan.

Dengan demikian, harusnya para pemimpin membuka mata hatinya manakala menemukan kenyataan golput, berapapun besarnya. Karena golput mengindikasikan adanya beberapa hal berikut ini: (1) perlawanan terhadap rejim; (2) ketidakpercayaan terhadap sistem dan calon yang ada; (3) kekecewaan yang besar terhadap pemerintah dan sistem; serta (4) putusnya harapan rakyat akan lahirnya sistem dan kepemimpinan yang mampu mengayomi mereka. Dan terkadang, hanya dengan cara demikian kemapanan demokrasi yang mengandalkan berfungsinya check and ballances itu dapat tercipta, kendati tidak selalu demikian adanya.

Dalam konteks sosiologi politik, dijelaskan empat sebab sikap golput, yaitu: (1) apatisme politik, yaitu sikap tidak berminat atau tidak menaruh perhatian terhadap orang, situasi, atau gejala-gejala umum yang berkait dengan persoalan politik dan kelembagaannya; (2) sinisme politik merupakan sikap yang dimiliki sebagai penghayatan atas tindakan dan motif orang atau lembaga lain dengan perasaan curiga. Orang-orang sinis selalu menganggap politik itu kotor, bahwa semua politisi tak dapat dipercaya, bahwa rakyat selalu menjadi korban manipulasi partai dan penguasa, dan bahwa setiap rejim selalu dipimpin orang tak amanah, dsb., sehingga mereka cenderung hopeless; (3) alienasi merupakan perasaan keterasingan dari kehidupan politik dan pemerintahan, sehingga selalu memandang segenap peraturan yang ada sebagai tidak adil dan menguntungkan penguasa; dan (4) anomi yaitu perasaan kehilangan nilai dan orientasi hidup, sehingga tak bermotivasi untuk mengambil tindakan yang berarti karena hilangnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga politik yang ada.

Tanpa bermaksud menafsirkan, penulis meyakini bahwa kisah yang diceritakan dalam Surah Al-Kahfi ayat 9-26, merupakan manifestasi dari keimanan dan kepasrahan total kepada Allah atas kesadaran akan ketidakmampuannya untuk melawan, mengubah, atau sekedar untuk hidup bersama sistem yang kufur dan dibawah pemerintahan yang korup dan dzalim. Dan di tengah kesadaran itu, mereka memilih ‘golput’ dengan cara menghindari dan menjauhi sistem dan kehidupan yang kufur itu.

Tak pelak lagi, kendati dengan konteks yang berbeda, menjadi golput itu sangat di-halal-kan, kendati tetap saja membutuhkan pemikiran mendalam guna dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan legal. Dengan kata lain, golput tidak boleh dilakukan karena dendam, kecewa, maupun alasan-alasan personal lainnya sehingga menjadi anarchy. Golput hanya boleh dilakukan di tengah ketiadaan celah untuk melakukan perubahan yang lebih baik, termasuk pula ketiadaan pilihan yang lebih baik kendati diantara alternatif pilihan yang buruk.

Dalam jangka pendek tindakan golput memang sia-sia karena tidak mengubah apapun, namun dalam jangka panjang justru menjadi bagian penting dari pendidikan politik menuju ke tingkat kematangan berpolitik dan berdemokrasi (maturity). Golput adalah salah satu instrumen gerakan moral rakyat yang dilakukan dengan cara mengekspresikan ekspresinya dengan tidak berekspresi (silent movement). Dan harusnya, tanpa harus menunggu menjadi silent majority, pemimpin dan elite politik harusnya mampu membuka mata, hati, dan telinganya untuk berintrospeksi guna memahami gejala public distrust dan mass disobedience ini guna lebih mengabdikan dirinya bagi sebesar-besar kemaslahatan rakyat. Kalaupun ini tidak terjadi, yakinlah bahwa golput tidak pernah menjadi sia-sia di mata Sang Maha Penguasa.
 
Support : Gegana | Revolusi | bgR
Copyright © 2014. Golput Bukan Dosa - All Rights Reserved
Designed by ibZ Published by inD
Proudly powered by Merdeka