1/19/2014
Wajib Golput Untuk Indonesia Hebat
Written By Unknown on 1/19/2014 | 1/19/2014
Majelis ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa mengenai pemilihan umum (pemilu). MUI yang terdiri dari berbagai komponen umat islam tersebut memandang penting untuk mengeluarkan fatwa mengenai keikutsertaan umat islam dalam pemilu. Mengingat semakin tingginya angka golput yang menandakan umat mulai apatis terhadap penyelenggara negara.
Fatwa ini kemudian dikenal dengan fatwa "Golput Haram" padahal kalau kita membaca teks-nya, sama sekali tidak ditemui kalimat maupun mafhum (yang dipahami) mengatakan bahwa golput haram. Fatwa ini dikenal dengan "Golput Haram" dikarenakan partai-partai berlabel islam secara bersemangat menyebarkan fatwa ini dengan harapan masyarakat memilih mereka, tanpa menyebarkan teks resmi dari fatwa itu. Fatwa itu kemudian ditafsirkan dengan: wajib memilih (terutama partai berlabel islam).
Fatwa ini kemudian digadang-gadang oleh beberapa pihak (termasuk oknum MUI) yang sepakat dengan konsep demokrasi agar masyarakat yang sebelumnya berniat golput (karena melaihat pemimpin yang bobrok), kemuduan mengurungkan niat golput tersebut karena takut dosa.
Maka perlu dibahas:
1. Apakah indonesia ini negara islam atau bukan (negara kufur)?
2. Apakah demokrasi bersumber dari islam atau dari orang kafir?
3. Apakah dalam sistem sekarang memungkinkan syarat-syarat yang diajukan MUI dalam fatwa tersebut ada di dalam caleg-caleg maupun capres?
Pertama, indonesia jelas bukan negara islam. Hal ini diakui baik oleh yang pro demokrasi maupun yang kontra demokrasi. Misalnya ketika umat islam menuntut agar negara menerapkan syariat islam, pemimpin kita menolak dengan argumen "Indonesia bukan negara islam", bahkan ada yang lebih ekstrim yaitu mengancam akan mengusir dari indonesia jika memaksakan ingin menerapkan syariat islam.
Jika dapat dipahami bahwa indonesia bukan negara islam, mengapa ketika pihak yang memiliki kepentingan untuk menang dalam pemilu di negara (yang bukan negara islam) ini menggunakan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga islam? justru ini menjadi hipokrit, bahwa ketika penyelenggaraan negara ini tidak berdasarkan islam tetapi ketika pemilu malah menggunakan fatwa islam agar menang?!
Kedua, Demokrasi jelas bukan dari islam. Demokrasi tidak berasal dari Al-Qur'an, Sunnah, Ijma,dan Qiyas, bahkan kita tidak temui hal ini mucnul dalam peradaban islam (arena peradaban islam saat khilafah masih tegak jauh lebih maju dibandingkan demokrasi yang bobrok). Justru kita menemuinya dari peradaban Yunani kuno dan peradaban modern Prancis, keduanya bukan peradaban islam, maka demokrasi jelas bukan dari islam. Lalu pertanyaannya, kalau memang bukan dari islam, mengapa ketika "pesta demokrasi" islam dijadikan alat agar memenangkan partainya?
Ketiga, Syarat yang ditetapkan dalam fatwa MUI adalah sebagai berikut:
1. Beriman
2. Bertaqwa
3. Jujur
4. Terpercaya
5. Aktif
6. Aspiratif
7. Memperjuangkan kepentingan umat
Beriman adalah membenarkan secara pasti segala yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Termasuk dalam hal menerapkan syariat islam secara kaffah, bukan sepotong-potong. Umat islam wajib meyakini bahwa syariat islam adalah yang terbaik dibandingkan dengan hukum-hukum lain. Apakah ada caleg yang meyakini demikian, yaitu yakin bahwa syariat islam lebih baik dibandingkan hukum lain (misalnya UUD 45 dan Pancasila) secara terang-terangan dalam kampanyenya? tentu tidak, sebab jika ada pasti akan digagalkan pencalonannya oleh KPU atau akan dipecat oleh partainya.
Bertaqwa adalah menjalankan SEMUA perintah ALLAH dan menjauhi SEMUA larangan ALLAH. Termasuk didalamnya adalah menjalankan SEMUA hukum ALLAH terkait pemerintahan, misalnya tentang hudud (sanksi seperti potong tangan untuk pencuri, rajam untuk pezina muhsan, dll), pemilihan khalifah tunggal untuk seluruh umat islam, sistem ekonomi (iqtishadi) bebas ribawi dan judi, sistem pergaulan laki-laki dan perepuan (ijtimai), penarikan zakat kepada umat islam, jizyah (pajak untuk orang kafir yang kaya), kharaj (pajak tanah untuk tanah yang dibebaskan dengan perang), menghapus pajak kecuali jika kas negara kosong, dan masih banyak lagi. Apakah ada caleg atau partai yang akan menerapkan itu semua? tentu TIDAK ADA, sebab dari awal mereka disumpah untuk taat dan patuh pada UUD 45 dan Pancasila dan bukan patuh pada Al-Qur;an, Sunnah, Ijma, dan Qiyas.
Kedua poin diatas sudah cukup menjadi penjelasan bahwa memang TIDAK ADA caleg atau partai atau capres yang memenuhi kriteria fatwa MUI untuk dipilih. Maka Golput 2014 itu tidak haram, bahkan wajib hukumnya untuk golput (tidak memilih) calon thaghut tersebut karena mereka hanya akan menjadi arbab min dunillah (tuhan-tuhan selain Allah) yang menerapkan hukum yang tidak didasarkan pada Al-Qur'an, Sunnah, Ijma, dan Qiyas.
Ketika menafsirkan surat Al Maidah ayat 50, Ibnu Katsir berkata: ” Dan firman Allah [artinya:" Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?"], Allah Ta’ala mengingkari orang yang berpaling dari hukum Allah -hukum yang telah muhkam (kokoh), meliputi seluruh kebaikan dan mencegah setiap keburukan- kemudian orang tersebut justru berpaling kepada yang lain, berupa pandangan-pandangan, hawa nafsu dan berbagai peristilahan yang dibuat oleh manusia tanpa bersandar kepada Syariat Allah, sebagaimana masyarakat jahiliyah berhukum kepada kesesatan dan kebodohan, hukum yang mereka buat berdasarkan pandangan dan hawa nafsu mereka. Sama halnya seperti Bangsa Tartar yang berhukum dengan kebijakan-kebijakan kerajaan yang diambil dari keputusan raja mereka, Jengiskhan, raja yang telah menyusun al Yasaq untuk mereka, yaitu kitab kumpulan hukum yang diramu dari berbagai syariat yang berbeda, termasuk dari Yahudi, Nasrani dan Islam. Di dalamnya juga terdapat banyak hukum yang semata-mata dia ambil dari pandangan dan hawa nafsunya. Kitab itu kemudian berubah menjadi syariat yang diikuti oleh anak keturunannya, yang lebih diutamakan ketimbang hukum yang diambil dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.
Barangsiapa melakukan hal tersebut maka dia telah kafir. Ia wajib diperangi sampai mau kembali merujuk kepada hukum Allah dan RasulNya, sampai dia tidak berhukum kecuali dengannya (Kitab dan Sunnah) baik sedikit maupun banyak.”Ibnu Katsir melanjutkan: “Allah berfirman {أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ} artinya: “apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki?”, yaitu: (apakah) mereka mencari dan menghendaki (hukum jahiliyah), sementara terhadap hukum Allah mereka berpaling? {وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ} artinya: “dan siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?”, Yaitu: siapakah yang lebih adil dari Allah dalam hukumnya bagi orang yang memahami syariat Allah dan beriman, yakin serta mengetahui bahwa Allah Ta’ala adalah Pemberi Keputusan yang paling bijaksana (ahkamul hakimin), lebih mengasihi makhluqnya ketimbang kasih-sayang seorang ibu kepada anaknya. Karena sesungguhnya Allah Ta’ala adalah Dzat yang mengetahui segala sesuatu, Dzat yang berkuasa atas segala sesuatu, dan Dzat yang Adil dalam segala sesuatu”.
Labels:
Fenomena,
Opini,
Perlawanan
1/19/2014
Mobil Golput Pertama Di Indonesia
Rabu (4/3/2009) Tugu Kujang Bogor pukul 10.00 WIB, banyak warga yang tersita perhatiannya dengan keberadaan sebuah mobil Nissan Xtrail. Selain nomor polisinya yang mencuri perhatian, B 18 LIS, kemudian juga terparkir tidak lazim di atas pelataran jalan di depan Botani Square, hal menarik lainnya adalah mobil hitam itu penuh coretan tanda tangan dan tulisan berwarna putih. Ada apa?
Ternyata, mobil itu adalah milik Ki Gendeng Pamungkas, salah satu tokoh penggerak Golput yang mukim di Bogor. Mobil yang diakui Ki Gendeng baru dibelinya dua minggu lalu ini dijadikan sarana curhat warga atau bentuk dukungan terhadap ajakan Golput yang didengungkan Ki Gendeng jelang Pemilu Legislatif (Pileg) April mendatang, dengan cara menulis unek-unek atau sekedar membubuhi tandatangan dan juga sokongan untuk gerakan GOLPUT yang di gembar–gemborkannya.
Banyak warga yang antusias dan ikut berpartisipasi untuk membubuhkan aspirasinya di media yang disediakan ki Gendeng itu. Merkea tidak hanya datang dari golongan tertentu, tapi berbagai lapis usia dan juga latarbelakang. Tidak sedikit juga yang berasal dari mahasiswa/siswi Universitas tertentu. Menurut warga yang kebetulan melintas di lokasi tersebut mengatakan, hal yang dilakukan Ki Gendeng adalah wajar dan sah. Golput, menurutnya adalah sebuah pilihan juga. “Wajarlah ajakan golput ini terus diserukan, dan tergantung masyarakat nantinya mau mencoblos atau tidak,” tuturnya, usai membubuhi tanda tangan di mobil Ki Gendeng.
Sedangkan, menurut Ki Gendeng, aksi yang dilakukannya di Tugu Kujang, Bogor dilakukan atas keinginan sendiri, Alasannya, ia tidak lagi percaya dengan partai politik. Ki Gendeng juga menyatakan, bahwa dirinya tidak takut kalau ada sanksi yang akan diberikan oleh pihak keamanan terhadap aksinya tersebut. “Jelas aksi ini bukan tindakan pidana. Jadi apa yang harus ditakutkan,” tegasnya.
Dalam waktu dekat, lanjut Ki Gendeng, mobil yang sudah dipenuhi tanda tangan tersebut akan diperlihatkan kepada KPU kota Bogor dan KPU Pusat. Maksudnya, agar penyelenggara pemilu tahu apabila tidak semua warga yang menginginkan diadakannya sebuah pemilu.
Ternyata, mobil itu adalah milik Ki Gendeng Pamungkas, salah satu tokoh penggerak Golput yang mukim di Bogor. Mobil yang diakui Ki Gendeng baru dibelinya dua minggu lalu ini dijadikan sarana curhat warga atau bentuk dukungan terhadap ajakan Golput yang didengungkan Ki Gendeng jelang Pemilu Legislatif (Pileg) April mendatang, dengan cara menulis unek-unek atau sekedar membubuhi tandatangan dan juga sokongan untuk gerakan GOLPUT yang di gembar–gemborkannya.
Banyak warga yang antusias dan ikut berpartisipasi untuk membubuhkan aspirasinya di media yang disediakan ki Gendeng itu. Merkea tidak hanya datang dari golongan tertentu, tapi berbagai lapis usia dan juga latarbelakang. Tidak sedikit juga yang berasal dari mahasiswa/siswi Universitas tertentu. Menurut warga yang kebetulan melintas di lokasi tersebut mengatakan, hal yang dilakukan Ki Gendeng adalah wajar dan sah. Golput, menurutnya adalah sebuah pilihan juga. “Wajarlah ajakan golput ini terus diserukan, dan tergantung masyarakat nantinya mau mencoblos atau tidak,” tuturnya, usai membubuhi tanda tangan di mobil Ki Gendeng.
Sedangkan, menurut Ki Gendeng, aksi yang dilakukannya di Tugu Kujang, Bogor dilakukan atas keinginan sendiri, Alasannya, ia tidak lagi percaya dengan partai politik. Ki Gendeng juga menyatakan, bahwa dirinya tidak takut kalau ada sanksi yang akan diberikan oleh pihak keamanan terhadap aksinya tersebut. “Jelas aksi ini bukan tindakan pidana. Jadi apa yang harus ditakutkan,” tegasnya.
Dalam waktu dekat, lanjut Ki Gendeng, mobil yang sudah dipenuhi tanda tangan tersebut akan diperlihatkan kepada KPU kota Bogor dan KPU Pusat. Maksudnya, agar penyelenggara pemilu tahu apabila tidak semua warga yang menginginkan diadakannya sebuah pemilu.
Labels:
Fenomena,
Ki Gendeng Pamungkas,
Perlawanan,
Sejarah
1/19/2014
Golput itu Halal Dan Akan Terus Bertambah
Lembaga Survei indonesia (LSI) memprediksi kecendrungan rakyat untuk tak memilih (golput) pada pemilu 2014 makin banyak. Hal tersebut terjadi karena citra partai politik yang makin buruk dimata publik.
"Kami mencermati, pada tiga kali pemilu legislatif terakhir tingkat partisipasi pemilih terus menurun drastis yang artinya tingkat kenaikan golput meningkat tajam," kata Direktur LSI, Burhanuddin Muhtadi di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis (23/2).
Menurut Burhanuddin, LSI mencermati tren kecenderungan golput yang meningkat melalui hasil survei yakni pada pemilu legisllatif 1999 jumlah golput hanya sebesar 6,3 persen, pada pemilu 2004 menjadi sekitar 16 persen, dan pada pemilu 2009 meningkat lagi menjadi 29,1 persen.
Ia meninai kecenderungan peningkatan pemilih golput sangat tajam dalam tiga kali pemilu terakhir. Burhan membandingkan dengan negara-negara maju, terutama Amerika Serikat yang menerapkan sistem demokrasi, tren peningkatan pemilih golput hingga 40 persen baru terakumulasi selama sekitar 200 tahun.
"Di Indonesia, hanya dalam waktu 12 tahun, pemilih golput sudah meningkat menjadi 29 persen," katanya.
Direktur LSI ini menilai, fenomena perilaku masyarakat terhadap penggunaan hak pilihnya cukup aneh. Di satu sisi tetap percaya pada demokrasi, tapi di sisi lain kepercayaannya kepada partai politik terus menurun.
Menyikapi sejumlah politisi yang tersangkut kasus hukum dan menjalani proses persidangan, ia menilai, kondisi saat ini makin menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap partai politik sekaligus sulit menentukan pilihan siapa calon presiden yang layak untuk dipilih.
"Kami mencermati, pada tiga kali pemilu legislatif terakhir tingkat partisipasi pemilih terus menurun drastis yang artinya tingkat kenaikan golput meningkat tajam," kata Direktur LSI, Burhanuddin Muhtadi di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Jakarta, Kamis (23/2).
Menurut Burhanuddin, LSI mencermati tren kecenderungan golput yang meningkat melalui hasil survei yakni pada pemilu legisllatif 1999 jumlah golput hanya sebesar 6,3 persen, pada pemilu 2004 menjadi sekitar 16 persen, dan pada pemilu 2009 meningkat lagi menjadi 29,1 persen.
Ia meninai kecenderungan peningkatan pemilih golput sangat tajam dalam tiga kali pemilu terakhir. Burhan membandingkan dengan negara-negara maju, terutama Amerika Serikat yang menerapkan sistem demokrasi, tren peningkatan pemilih golput hingga 40 persen baru terakumulasi selama sekitar 200 tahun.
"Di Indonesia, hanya dalam waktu 12 tahun, pemilih golput sudah meningkat menjadi 29 persen," katanya.
Direktur LSI ini menilai, fenomena perilaku masyarakat terhadap penggunaan hak pilihnya cukup aneh. Di satu sisi tetap percaya pada demokrasi, tapi di sisi lain kepercayaannya kepada partai politik terus menurun.
Menyikapi sejumlah politisi yang tersangkut kasus hukum dan menjalani proses persidangan, ia menilai, kondisi saat ini makin menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap partai politik sekaligus sulit menentukan pilihan siapa calon presiden yang layak untuk dipilih.
Labels:
Fenomena,
Perlawanan
1/19/2014
Tidak Memilih Juga Pilihan
Tahun depan Indonesia (2014) kembali menggelar pesta demokrasi. Demokrasi Indonesia sendiri merupakan hasil eraman Reformasi tahun 1998. Lima belas tahun yang lalu era reformasi bergulir setelah berhasil menggulingkan orde baru yang otoriter. Reformasi diharapkan membawa bangsa dan negara Indonesia ke arah yang lebih baik, di mana kemakmuran dan kemaslahatan rakyat bisa dirasakan dengan lebih merata. Sayangnya, ini sering kali hanya menjadi platform partai-partai yang bergulat dalam memenangkan suara.
Sepanjang 2013 sendiri, rakyat kita kerap terlibat dalam pesta demokrasi dalam sekup regional, yakni Pemilukada yang meliputi pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota bahkan sampai pemilihan kepala desa. Pesta-pesta inipun rupanya berhasil dijadikan momentum pergulatan bagi para politisi untuk mendulang suara dan menaikkan rating partainya.
Sementara itu, sebagian kecil masyarakat yang tidak mau “ambil pusing” dalam menentukan pilihan suaranya masih mengiringi proses domokratisasi di negeri ini. Mereka mamaknai demokrasi sebagai sebuah kebebasan untuk memilih. Memilih untuk “memilih” salah satu kandidat atau memilih untuk “tidak memilih” sama sekali. Bisa juga memilih untuk “memilih” semua kandidat. Intinya suara mereka tidak dapat diperhitungkan saat penghitungan suara. Masyarakat seperti yang saya sebut di atas biasa dikenal sebagai Golongan Putih (Golput).
Golput sendiri disinyalir sebagai sebuah reflection progress sekaligus reaksi dari sebagian pemilih terhadap keadaan politik tertentu. Alasan klasiknya adalah kekecewaan dan ketidakpercayaan mereka terhadap kandidat-kandidat yang ada. Pada titik inilah golput membingkai menjadi sebuah krisis politik yang paling halus namun memiliki dampak yang harus diperhitungkan.
Sepanjang 2013 sendiri, rakyat kita kerap terlibat dalam pesta demokrasi dalam sekup regional, yakni Pemilukada yang meliputi pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota bahkan sampai pemilihan kepala desa. Pesta-pesta inipun rupanya berhasil dijadikan momentum pergulatan bagi para politisi untuk mendulang suara dan menaikkan rating partainya.
Sementara itu, sebagian kecil masyarakat yang tidak mau “ambil pusing” dalam menentukan pilihan suaranya masih mengiringi proses domokratisasi di negeri ini. Mereka mamaknai demokrasi sebagai sebuah kebebasan untuk memilih. Memilih untuk “memilih” salah satu kandidat atau memilih untuk “tidak memilih” sama sekali. Bisa juga memilih untuk “memilih” semua kandidat. Intinya suara mereka tidak dapat diperhitungkan saat penghitungan suara. Masyarakat seperti yang saya sebut di atas biasa dikenal sebagai Golongan Putih (Golput).
Golput sendiri disinyalir sebagai sebuah reflection progress sekaligus reaksi dari sebagian pemilih terhadap keadaan politik tertentu. Alasan klasiknya adalah kekecewaan dan ketidakpercayaan mereka terhadap kandidat-kandidat yang ada. Pada titik inilah golput membingkai menjadi sebuah krisis politik yang paling halus namun memiliki dampak yang harus diperhitungkan.
Labels:
Pengertian Golput,
Perlawanan
1/18/2014
Dengan diterbitkannya Tabloid Golput edisi pertama oleh Presiden Golput Indonesia Ki Gendeng Pamungkas di Bogor, jelas itu sebuah terobosan besar sekaligus tabloid pertama kali dinegeri ini yang memberikan arti, tujuan atau alasan golput itu sendiri.
Tabloid Golput Pertama Di Indonesia
Written By Unknown on 1/18/2014 | 1/18/2014
Ki Gendeng Pamungkas sebagai pelopor tabloid tersebut menjelaskan visi-misi dalam gerakan golput sebagai aksi protes keras terhadap parpol dan pemerintahan dibawah kendali busuk para elit politikus bangsa ini. (IbZ)
Labels:
Fenomena,
Ki Gendeng Pamungkas,
Video
1/18/2014
Dalam bernegara, tentu setiap orang diberi hak untuk memilih dan dipilih. Golput juga disebut pilihan oleh sebagian orang yang mendukungnya. Mari kita sejenak meninggalkan polemik hukum tentang Golput, dan kita berusaha melihatnya sebagai masalah sosial yang terjadi di tubuh masyarakat.
Politik dan keterlibatan masyarakat di dalamnya memang banyak disebabkan oleh faktor-faktor tertentu. Tingkat pendidikan seseorang dalam hal ini pun sangat berpengaruh. Tengok saja orang yang sebagian besar hidup dalam pendidikan rendah dan ekonomi sulit.
Biasanya mereka sangat antusias dalam mengikuti kampanye pertarungan politik. Bukan aneh lagi, jika di dalamnya terdapat money politic yang membuat mereka ikut bergabung. Kebutuhan akan uang dan kebutuhan pokok menjadi incaran para pencari kesempatan dalam kampanye politik.
Setelah pemilu selesai mereka pun pada akhirnya menjadi kelompok yang paling banyak dirugikan dan tertipu secara langsung. Namun ibarat rutinitas, ketika pemilu berikutnya datang, mereka pun menyambutnya dengan antusias. Uang dan uang yang mereka inginkan.
Di sisi lain, Golput biasanya muncul dari kelompok minoritas yang kecewa. Mereka bukan dari kalangan intelektual, tetapi mereka yang pernah terlibat dalam lingkaran politik walaupun dalam skala yang kecil. Entah itu sebagai tim sukses, pendukung, atau pemilih pemula.
Biasanya, sebagian di antara mereka berpindah ke lain pilihan, tetapi sebagian lain langsung memilih untuk Golput. Kekecewaan merupakan dorongan psikologis yang besar bagi mereka dalam kelompok ini.
Kelompok terakhir adalah kelompok intelektual yang katakanlah ‘tercerahkan’. Mereka milih Golput bukan karena kekecewaan belaka, tetapi lebih pada bentuk perlawanan. Kesadaran ini mereka dapatkan dari bentuk refleksi dan persentuhan dengan dunia politik beserta pemikirannya. Jumlah mereka memang sangat kecil, namun pengaruhnya sangat besar.
Hukum Golput
Golput memang diakui secara hukum sebagai suatu pilihan. Jika mereka Golput atas kesadaran sendiri itu tidak dilarang, namun jika mereka mengajak orang lain itu akan dikenakan hukuman. Begitu kurang lebih Golput menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
Ketika kita bicara soal kesadaran, tentu kesadaran itu harus kita tularkan kepada orang lain supaya ikut sadar atau tersadarkan. Tapi dalam urusan Golput di Indonesia menjadi lain. Jika Anda sadar bahwa politik ini tidak benar dan Anda secara sadar memilih Golput, lalu Anda mencoba menyadarkan pula orang lain, Anda malah terkena hukuman penjara. Menyadarkan memang secara otomatis mengajak orang untuk Golput juga, namun posisi kesadaran dalam kondisi ini menjadi sangat rancu.
Kesadaran seolah tidak boleh disebarluaskan dan sengaja membiarkan orang lain dalam kondisi yang tidak sadar. Mungkinkah itu yang dikehendaki dalam hukum tentang Golput?. Yang jelas ketika Anda menyadarkan orang lain, Anda berhadapan dengan sebuah ancaman.
Ancaman yang bisa atau mungkin dapat terkena pada kita adalah hukuman penjara. Secar hukum perbuatan yang menyadarkan orang lain untuk golput adalah melanggar hukum. Dikatakan melanggar hukum karena dengan secara sadar mengajak orang lain untuk ikut golput juga.
Hukum tersebut mungkin bagi sebagian orang akan bermakna rancu. Dalam hukum tersebut diperbolehkan untuk perorangan agar memilih golput tetapi tidak boleh mengajak orang untuk golput.
Hukum ini dibuat agar semua orang ikut berpartisipasi dalam ajang acara nasional yakni pemilu. Pemilu dipandang sebagai proses demokrasi. Proses yang mencerminkan kekuatan rakyat. Sebagaiamana slogan-slogan yang sering kita dengan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat.
Jika banyak orang yang golput maka pesta rakyat ini pun tidak dapat berjalan dengan mulus. Bagaimana bisa berjalan dengan mulus jikalau peserta pesta tidak ada.
Permasalahan dalam tatacara aturan hukum ini terjadi jika orang yang golput didekati orang yang tidak golput. Tentunya akan muncul sejumlah pertanyaan dari orang yang tidak golput kepada orang yang golput.
Dari pertanyaan yang diajukan oleh orang yang tidak golput pasti dijawab oleh orang yang golput. Setiap pertanyaan tentunya akan dijawab sesuai dengan hati nurani dari orang yang golput dengan alasan yang logis pula. Dari sini pertukaran pikiran pun terjadi.
Dengan terjadinya pertukaran pikiran tersebut maka akan terjadi gesekan pemikiran dari keduanya. Efeknya atau hasil gesekan tersebut bisa beraneka macam. Bisa saja yang semula golput menjadi tidak golput. Namun bisa juga sebaliknya yakni yang semula tidak golput menjadi ikut golput.
Jika ini yang terjadi maka jika diterapkan hukum di atas bisa saja orang yang golput tadi terkena pasal hukum. Orang tersebut kena pasal hukum sebab dia telah mengajak orang lain untuk ikut golput. Walaupun ajakannya tidak terlihat secara jelas.
Padahal jika dilihat dari kasus di atas adalah orang yang tidak golput mendatangi orang yang golput dan bukan orang yang golput mengajak orang yang tidak golput untuk ikut golput. Tetapi karena gesekkan pemikiran yang terjadi antar keduanya inilah yang mengakibatkan pertukaran pendapat.
Terjadinya pertukaran pendapat tersebutlah yang bisa memberikan efek pada orang lain. Bisa berefek negatif bisa bisa pula berefek positif. Yang jelas semuanya ada akibatnya.
Alasan Golput
Secara analisis tingginya golput merupakan bukti bahwa masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan pesta demokrasi yang berjalan di negeri ini. Perlu tenaga ekstra untuk kembali menyadarkan kepada masyarakat akan pentingnya pesta rakyat ini.
Tujuan dari diadakannya pemilu tidak lain adalah memilih pemimpin negeri ini. Tanpa adanya pemimpin maka ibarat sebuah kapal yang tidak memiliki nahkoda atau kapten. Tentunya kapal tersebut akan terombang-ambing tidak karuan arahnya.
Tentunya kita tidak ingin ini terjadi pada negara yang kita cintai ini. Negara yang penuh dengan warna. Berbagai macam suku dan budaya ada di negara kita. Negara kita adalah negara kaya tetapi miskin.
Dikatakan kaya karena negara kita memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Kekayaan alam akan hutan yang luas serta sumber alam tambang yang melimpah ruah. Semua hal tersebut ada dan dimiliki oleh negara kita tercinta ini. Tetapi sebagian orang menganggap negara kita ini miskin walaupun memiliki sumber daya alam yang luar biasa banyaknya.
Negara kita dikatakan miskin karena pada dasarnya masih banyak rakyat dari negara kita yang hidup di bawah garis kemiskinan. Masih banyak penduduk negara ini yang tingkat pendidikannya sangat rendah. Hal ini tidak sepadan jika dibandingkan dengan kekayaan alam yang dimiliki oleh negara ini.
Selain itu masalah sosial masyarakat pun semakin banyak dan kompleks. Berbagai kesenjangan sosial selalu terjadi. Di berbagai daerah selalu ada dan timbul masalah sosial masyarakat. Pemerintah pun juga sudah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengatasi masalah sosial masyarakat tersebut. Namun hasilnya masih belum bisa dirasakan.
Pergantian pemimpin yang merupakan puncak dari acara pesta demokrasi pun tidak menghasilkan perubahan yang signifikan. Dari satu pemimpin ke pemimpin yang lain tidak mampu memberikan kepuasaan terhadap sebagian masyarakat. Karena inilah akhirnya muncul orang yang golput dalam pemilu.
Bukan salah mereka untuk memilih golput. Harusnya kita menumbuhkembangkan lagi kepercayaan yang ada pada sebagian orang yang golput untuk tidak lagi golput. Sebagai sebuah catatan bahwa tidak boleh ada pemaksaan atau saling menyalahkan karena semuanya memiliki alasan yang dibenarkan oleh hukum. Marilah kita saling menjaga keharmonisan yang ada di masyarakat agar masalah sosial masyarakat tidak lagi muncul.
Masalah sosial masyarakat bukan hanya masalah golput saja. Masih banyak masalah sosial masyarakat lainnya yang juga harus kita perhatikan. Jangan jadikan golput sebagai masalah sosial masyarakat yang utama karena masih banyak masalah sosial masyarakat lainnya yang jauh lebih penting.
Golput Rasional Politik
Angka Golput di Indonesia semakin lama semakin meningkat. Tengok saja saat Susilo Bambang Yudhoyonoterpilih menjadi presiden untuk yang kedua kalinya pada 2009. Rata-rata Golput mencapai 40% dari keseluruhan jumlah pemilih. Hal ini dikarenakan adanya masalah sosial masyarakat.
Kondisi yang sama juga berlangsung saat pemilihan gubernur maupun walikota. Dalam setiap pemilu, kelompok putih ini selalu menyertainya. Di Jawa Barat misalnya, ketika Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur, angka Golput cukup signifikan.Ada orang yang menganggap Golput sebagai masalah sosial masyarakat.
Puncaknya ketika MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap Golput. Ada pula yang menganggapnya sebagai pilihan rasional di tengah kondisi politik yang tidak menentu, tidak membawa hasil yang memuaskan.
Apa yang menyebabkan Golput menjadi suatu pilihan bagi masyarakat, mengapa semakin lama jumlahnya semakin bertambah? Apakah keberadaan dan pertambahan jumlah Golput menyebabkan terjadinya keburukan pada politik atau malah sebaliknya, membawa manfaat bagi perbaikan politik kita?
Pilihan Orang
Kondisi yang sama juga berlangsung saat pemilihan gubernur maupun walikota. Dalam setiap pemilu, kelompok putih ini selalu menyertainya. Di Jawa Barat misalnya, ketika Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur, angka Golput cukup signifikan.Ada orang yang menganggap Golput sebagai masalah sosial masyarakat.
Puncaknya ketika MUI mengeluarkan fatwa haram terhadap Golput. Ada pula yang menganggapnya sebagai pilihan rasional di tengah kondisi politik yang tidak menentu, tidak membawa hasil yang memuaskan.
Apa yang menyebabkan Golput menjadi suatu pilihan bagi masyarakat, mengapa semakin lama jumlahnya semakin bertambah? Apakah keberadaan dan pertambahan jumlah Golput menyebabkan terjadinya keburukan pada politik atau malah sebaliknya, membawa manfaat bagi perbaikan politik kita?
Pilihan Orang
Dalam bernegara, tentu setiap orang diberi hak untuk memilih dan dipilih. Golput juga disebut pilihan oleh sebagian orang yang mendukungnya. Mari kita sejenak meninggalkan polemik hukum tentang Golput, dan kita berusaha melihatnya sebagai masalah sosial yang terjadi di tubuh masyarakat.
Politik dan keterlibatan masyarakat di dalamnya memang banyak disebabkan oleh faktor-faktor tertentu. Tingkat pendidikan seseorang dalam hal ini pun sangat berpengaruh. Tengok saja orang yang sebagian besar hidup dalam pendidikan rendah dan ekonomi sulit.
Biasanya mereka sangat antusias dalam mengikuti kampanye pertarungan politik. Bukan aneh lagi, jika di dalamnya terdapat money politic yang membuat mereka ikut bergabung. Kebutuhan akan uang dan kebutuhan pokok menjadi incaran para pencari kesempatan dalam kampanye politik.
Setelah pemilu selesai mereka pun pada akhirnya menjadi kelompok yang paling banyak dirugikan dan tertipu secara langsung. Namun ibarat rutinitas, ketika pemilu berikutnya datang, mereka pun menyambutnya dengan antusias. Uang dan uang yang mereka inginkan.
Di sisi lain, Golput biasanya muncul dari kelompok minoritas yang kecewa. Mereka bukan dari kalangan intelektual, tetapi mereka yang pernah terlibat dalam lingkaran politik walaupun dalam skala yang kecil. Entah itu sebagai tim sukses, pendukung, atau pemilih pemula.
Biasanya, sebagian di antara mereka berpindah ke lain pilihan, tetapi sebagian lain langsung memilih untuk Golput. Kekecewaan merupakan dorongan psikologis yang besar bagi mereka dalam kelompok ini.
Kelompok terakhir adalah kelompok intelektual yang katakanlah ‘tercerahkan’. Mereka milih Golput bukan karena kekecewaan belaka, tetapi lebih pada bentuk perlawanan. Kesadaran ini mereka dapatkan dari bentuk refleksi dan persentuhan dengan dunia politik beserta pemikirannya. Jumlah mereka memang sangat kecil, namun pengaruhnya sangat besar.
Hukum Golput
Golput memang diakui secara hukum sebagai suatu pilihan. Jika mereka Golput atas kesadaran sendiri itu tidak dilarang, namun jika mereka mengajak orang lain itu akan dikenakan hukuman. Begitu kurang lebih Golput menurut hukum yang berlaku di Indonesia.
Ketika kita bicara soal kesadaran, tentu kesadaran itu harus kita tularkan kepada orang lain supaya ikut sadar atau tersadarkan. Tapi dalam urusan Golput di Indonesia menjadi lain. Jika Anda sadar bahwa politik ini tidak benar dan Anda secara sadar memilih Golput, lalu Anda mencoba menyadarkan pula orang lain, Anda malah terkena hukuman penjara. Menyadarkan memang secara otomatis mengajak orang untuk Golput juga, namun posisi kesadaran dalam kondisi ini menjadi sangat rancu.
Kesadaran seolah tidak boleh disebarluaskan dan sengaja membiarkan orang lain dalam kondisi yang tidak sadar. Mungkinkah itu yang dikehendaki dalam hukum tentang Golput?. Yang jelas ketika Anda menyadarkan orang lain, Anda berhadapan dengan sebuah ancaman.
Ancaman yang bisa atau mungkin dapat terkena pada kita adalah hukuman penjara. Secar hukum perbuatan yang menyadarkan orang lain untuk golput adalah melanggar hukum. Dikatakan melanggar hukum karena dengan secara sadar mengajak orang lain untuk ikut golput juga.
Hukum tersebut mungkin bagi sebagian orang akan bermakna rancu. Dalam hukum tersebut diperbolehkan untuk perorangan agar memilih golput tetapi tidak boleh mengajak orang untuk golput.
Hukum ini dibuat agar semua orang ikut berpartisipasi dalam ajang acara nasional yakni pemilu. Pemilu dipandang sebagai proses demokrasi. Proses yang mencerminkan kekuatan rakyat. Sebagaiamana slogan-slogan yang sering kita dengan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat.
Jika banyak orang yang golput maka pesta rakyat ini pun tidak dapat berjalan dengan mulus. Bagaimana bisa berjalan dengan mulus jikalau peserta pesta tidak ada.
Permasalahan dalam tatacara aturan hukum ini terjadi jika orang yang golput didekati orang yang tidak golput. Tentunya akan muncul sejumlah pertanyaan dari orang yang tidak golput kepada orang yang golput.
Dari pertanyaan yang diajukan oleh orang yang tidak golput pasti dijawab oleh orang yang golput. Setiap pertanyaan tentunya akan dijawab sesuai dengan hati nurani dari orang yang golput dengan alasan yang logis pula. Dari sini pertukaran pikiran pun terjadi.
Dengan terjadinya pertukaran pikiran tersebut maka akan terjadi gesekan pemikiran dari keduanya. Efeknya atau hasil gesekan tersebut bisa beraneka macam. Bisa saja yang semula golput menjadi tidak golput. Namun bisa juga sebaliknya yakni yang semula tidak golput menjadi ikut golput.
Jika ini yang terjadi maka jika diterapkan hukum di atas bisa saja orang yang golput tadi terkena pasal hukum. Orang tersebut kena pasal hukum sebab dia telah mengajak orang lain untuk ikut golput. Walaupun ajakannya tidak terlihat secara jelas.
Padahal jika dilihat dari kasus di atas adalah orang yang tidak golput mendatangi orang yang golput dan bukan orang yang golput mengajak orang yang tidak golput untuk ikut golput. Tetapi karena gesekkan pemikiran yang terjadi antar keduanya inilah yang mengakibatkan pertukaran pendapat.
Terjadinya pertukaran pendapat tersebutlah yang bisa memberikan efek pada orang lain. Bisa berefek negatif bisa bisa pula berefek positif. Yang jelas semuanya ada akibatnya.
Alasan Golput
Secara analisis tingginya golput merupakan bukti bahwa masyarakat sudah tidak percaya lagi dengan pesta demokrasi yang berjalan di negeri ini. Perlu tenaga ekstra untuk kembali menyadarkan kepada masyarakat akan pentingnya pesta rakyat ini.
Tujuan dari diadakannya pemilu tidak lain adalah memilih pemimpin negeri ini. Tanpa adanya pemimpin maka ibarat sebuah kapal yang tidak memiliki nahkoda atau kapten. Tentunya kapal tersebut akan terombang-ambing tidak karuan arahnya.
Tentunya kita tidak ingin ini terjadi pada negara yang kita cintai ini. Negara yang penuh dengan warna. Berbagai macam suku dan budaya ada di negara kita. Negara kita adalah negara kaya tetapi miskin.
Dikatakan kaya karena negara kita memiliki kekayaan alam yang luar biasa. Kekayaan alam akan hutan yang luas serta sumber alam tambang yang melimpah ruah. Semua hal tersebut ada dan dimiliki oleh negara kita tercinta ini. Tetapi sebagian orang menganggap negara kita ini miskin walaupun memiliki sumber daya alam yang luar biasa banyaknya.
Negara kita dikatakan miskin karena pada dasarnya masih banyak rakyat dari negara kita yang hidup di bawah garis kemiskinan. Masih banyak penduduk negara ini yang tingkat pendidikannya sangat rendah. Hal ini tidak sepadan jika dibandingkan dengan kekayaan alam yang dimiliki oleh negara ini.
Selain itu masalah sosial masyarakat pun semakin banyak dan kompleks. Berbagai kesenjangan sosial selalu terjadi. Di berbagai daerah selalu ada dan timbul masalah sosial masyarakat. Pemerintah pun juga sudah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengatasi masalah sosial masyarakat tersebut. Namun hasilnya masih belum bisa dirasakan.
Pergantian pemimpin yang merupakan puncak dari acara pesta demokrasi pun tidak menghasilkan perubahan yang signifikan. Dari satu pemimpin ke pemimpin yang lain tidak mampu memberikan kepuasaan terhadap sebagian masyarakat. Karena inilah akhirnya muncul orang yang golput dalam pemilu.
Bukan salah mereka untuk memilih golput. Harusnya kita menumbuhkembangkan lagi kepercayaan yang ada pada sebagian orang yang golput untuk tidak lagi golput. Sebagai sebuah catatan bahwa tidak boleh ada pemaksaan atau saling menyalahkan karena semuanya memiliki alasan yang dibenarkan oleh hukum. Marilah kita saling menjaga keharmonisan yang ada di masyarakat agar masalah sosial masyarakat tidak lagi muncul.
Masalah sosial masyarakat bukan hanya masalah golput saja. Masih banyak masalah sosial masyarakat lainnya yang juga harus kita perhatikan. Jangan jadikan golput sebagai masalah sosial masyarakat yang utama karena masih banyak masalah sosial masyarakat lainnya yang jauh lebih penting.
Labels:
Fenomena,
Opini,
Perlawanan,
Sejarah
1/18/2014
Golput: Suara Perlawanan
Koruptor takut sama siapa?
Dia tak takut dengan puisi hujatan..
Tidak juga dengan sajak makian..
Dia juga tak takut masuk bui..
Apalagi dengan ayat-ayat Tuhan..
Satu yang dia sangat takuti..
Sangat ia musuhi dan dibully..
Ia takut dengan puisi ajakan GOLPUT..
Ia khawatir dengan sajak-sajak GOLPUT..
Ia takut dengan organisasi GOLPUT..
Apalagi kampanye massal mengajak GOLPUT..
Dalil harampun ikut melaknat GOLPUT..
Pasal-pasal hukum juga ikut dilobi..
Agar GOLPUT menjadi basi..
Agar bisa terus korupsi..
Tak korupsi lagi bila tak terpilih..
Itu hukum alam yang berlaku..
Sebab generasi korup penggantinya..
Siap duduk dibekas kursinya..
Mengganti apa yang basah dikursinya..
Begitulah seterusnya..
Para pemilih hanya dikibuli politisi..
Maka, GOLPUT adalah harga mati..
Untuk memunculkan generasi anti korupsi..
Dia tak takut dengan puisi hujatan..
Tidak juga dengan sajak makian..
Dia juga tak takut masuk bui..
Apalagi dengan ayat-ayat Tuhan..
Satu yang dia sangat takuti..
Sangat ia musuhi dan dibully..
Ia takut dengan puisi ajakan GOLPUT..
Ia khawatir dengan sajak-sajak GOLPUT..
Ia takut dengan organisasi GOLPUT..
Apalagi kampanye massal mengajak GOLPUT..
Dalil harampun ikut melaknat GOLPUT..
Pasal-pasal hukum juga ikut dilobi..
Agar GOLPUT menjadi basi..
Agar bisa terus korupsi..
Tak korupsi lagi bila tak terpilih..
Itu hukum alam yang berlaku..
Sebab generasi korup penggantinya..
Siap duduk dibekas kursinya..
Mengganti apa yang basah dikursinya..
Begitulah seterusnya..
Para pemilih hanya dikibuli politisi..
Maka, GOLPUT adalah harga mati..
Untuk memunculkan generasi anti korupsi..
Labels:
Golput,
Perlawanan
1/18/2014
Eksistensi Golput Dalam Demokrasi
Perspektif Sejarah
”Tiada asap tanpa api”, demikian kira-kira pepatah yang tepat untuk memahami eksistensi golput. Golput tidak terjadi secara serta merta, tanpa ada penyebabnya. Inilah fakta empiris yang harusnya kita rujuk untuk melihat fenomena golput itu secara komprehensif, tanpa terjebak pada sikap salah-menyalahkan, apalagi haram-mengharamkan. Betapapun benar bahwa tindakan golput itu cenderung mubazir karena tidak akan menghasilkan perubahan apapun, namun eksistensinya yang kontekstual seiring dengan dinamika perjalanan sejarah anak bangsa itu tidak dapat dan tidak boleh digeneralisir sebagai salah keseluruhannya.
Golput telah ada sepanjang sejarah politik bangsa-bangsa, kendati dengan alasan dan konteks yang berbeda-beda. Dan karena perbedaan konteks inilah maka masyarakat harus jeli dan obyektif mensikapi fenomena golput, khususnya hal-hal yang melatarbelakangi kemunculan golput di tiap periode Pemilu. Pada Pemilu 1955, di tengah maraknya kehidupan kepartaian di Indonesia, golput muncul karena didorong oleh perseteruan yang cenderung saling intimidatif antara kaum unitaris dan kaum federalis.
Sementara golput pada tahun 80-an hingga 90-an, lebih dilatarbelakangi karena adanya “paksaan” yang sistematis untuk memilih Golkar sebagai partai pemerintah. Akhirnya gerakan golput menjadi pilihan bagi orang-orang yang takut memilih partai lain di luar Golkar. Golput pada era ini lebih dimotivasi oleh semangat perlawanan terhadap rejim otoriter, yang tidak memberi ruang gerak bagi masyarakat untuk berekspresi, berpolitik dan bersikap beda. Dan semangat ini tetap mewarnai gerakan golput setidaknya hingga akhir era 90-an. Sedangkan, golput pada era pasca Orba cenderung bukan lagi disemangati oleh perlawanan terhadap rejim yang berkuasa, melainkan oleh kekecewaan yang mendalam terhadap sikap para pemimpin pemerintahan, para elite politik dan partai yang dinilai mengkhianati amanat penderitaan rakyat. Beberapa kasus “pembangkangan” dan eksodus kader partai tertentu ke partai lain atau membentuk partai baru – yang pada Pemilu 1999 mencapai 48 partai - dapat menjadi indikasi hal tersebut.
Demikian pula golput pada Pemilu 2004 yang secara umum lebih dipicu oleh kekecewaan terhadap elit-elit partainya serta pada pemerintah yang dianggap tidak mampu memperbaiki nasib rakyatnya. Di samping itu, terjadinya polarisasi kepemimpinan politik dalam masyarakat pun mendorong terjadinya golput atas dasar simbiosis antara patron dan client-nya manakala sang patron tidak terakomodasi dalam struktur politik tertentu. Di samping itu, secara empirik terdapat pula fakta bahwa sebagian masyarakat kita sangat loyal pada partainya, hingga sukar beralih ke partai lain.
Kekecewaan kepada pemimpin dan elite partai tidak serta merta membuat mereka pindah partai, umumnya sekedar menunda memilih sembari menunggu munculnya figur-figur yang mereka sukai, dan kalaupun pindah partai suatu saat dapat pulang kandang karena fanatisme yang bersifat laten. Budaya patron-client yang masih sangat kuat serta tipologi budaya politik karena ideologi “tidak memungkinkan” orang dengan mudah pindah parpol. Rasanya tidak sreg bagi orang PDI-P untuk memilih pindah ke Golkar. Bahkan di antara partai islam sekalipun, bagi orang PKB secara psikologis bukan persoalan mudah mau menyeberang ke PAN atau PPP. Begitu pula sebaliknya, sangat sulit orang yang darahnya PAN beralih ke PKB. Dan seterusnya, dan sebagainya.
Di tengah fenomena inilah maka di samping golput muncul pula fenomena makin nyata dan besarnya jumlah swinging voters, yang beberapa diantaranya cenderung kritis, non-ideologis, ataupun pragmatis. Bila sampai saatnya mereka tidak menemukan pilihan, mereka cenderung menjadi golput oleh sebab ketiadaan wadah (parpol) dan atau figur yang dapat dipercayainya untuk membawa perubahan.
Fenomena di atas tentu menjelaskan perilaku pemilih dalam konteks Parpol, yang tentu sangat berbeda dengan Pilkada yang lebih merupakan kontestasi figur daripada parpol. Itulah sebabnya kenapa pilihan pada parpol tertentu hampir selalu tidak berkorelasi dengan pilihan pada figur calon kepala daerah tertentu. Dan karena fakta inilah maka secara empiris golput dalam Pilkada seringkali unpredictable karena menyangkut apresiasi subyektif pemilih terhadap calon yang dikenal baik track record-nya.
Perspektif Teori
Dalam teori politik, golput (non-voting behaviour) dipahami sebagai bentuk partisipasi politik warga negara yang muncul karena beragam latar belakang. Memilih adalah hak (right) politik warga negara yang by its nature mengandung arti legal or moral entitlement (authority to act), yang mengandung kebebasan pemilik hak itu untuk menggunakan atau tidak menggunakannya. Bukan kewajiban (duty) yang mengandung makna moral or legal obligation. Karena essensi filosofis inilah maka demokrasi – yang bersendi kedaulatan rakyat, dan yang setiap orang legally equal hak-hak politiknya – memberi ruang bagi pilihan untuk golput secara setara dengan pilihan untuk memilih itu.
Dan karena demokrasi meng-agungkan vox populii sebagai vox Dei maka menjadi golput diberi ruang dalam demokrasi, guna meluruskan demokrasi, meluruskan politik dan pemerintahan yang korup melalui gerakan moral. Ya, hanya gerakan moral, karena hanya itulah yang mampu dilakukan rakyat kebanyakan.
Dengan demikian, harusnya para pemimpin membuka mata hatinya manakala menemukan kenyataan golput, berapapun besarnya. Karena golput mengindikasikan adanya beberapa hal berikut ini: (1) perlawanan terhadap rejim; (2) ketidakpercayaan terhadap sistem dan calon yang ada; (3) kekecewaan yang besar terhadap pemerintah dan sistem; serta (4) putusnya harapan rakyat akan lahirnya sistem dan kepemimpinan yang mampu mengayomi mereka. Dan terkadang, hanya dengan cara demikian kemapanan demokrasi yang mengandalkan berfungsinya check and ballances itu dapat tercipta, kendati tidak selalu demikian adanya.
Dalam konteks sosiologi politik, dijelaskan empat sebab sikap golput, yaitu: (1) apatisme politik, yaitu sikap tidak berminat atau tidak menaruh perhatian terhadap orang, situasi, atau gejala-gejala umum yang berkait dengan persoalan politik dan kelembagaannya; (2) sinisme politik merupakan sikap yang dimiliki sebagai penghayatan atas tindakan dan motif orang atau lembaga lain dengan perasaan curiga. Orang-orang sinis selalu menganggap politik itu kotor, bahwa semua politisi tak dapat dipercaya, bahwa rakyat selalu menjadi korban manipulasi partai dan penguasa, dan bahwa setiap rejim selalu dipimpin orang tak amanah, dsb., sehingga mereka cenderung hopeless; (3) alienasi merupakan perasaan keterasingan dari kehidupan politik dan pemerintahan, sehingga selalu memandang segenap peraturan yang ada sebagai tidak adil dan menguntungkan penguasa; dan (4) anomi yaitu perasaan kehilangan nilai dan orientasi hidup, sehingga tak bermotivasi untuk mengambil tindakan yang berarti karena hilangnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga politik yang ada.
Tanpa bermaksud menafsirkan, penulis meyakini bahwa kisah yang diceritakan dalam Surah Al-Kahfi ayat 9-26, merupakan manifestasi dari keimanan dan kepasrahan total kepada Allah atas kesadaran akan ketidakmampuannya untuk melawan, mengubah, atau sekedar untuk hidup bersama sistem yang kufur dan dibawah pemerintahan yang korup dan dzalim. Dan di tengah kesadaran itu, mereka memilih ‘golput’ dengan cara menghindari dan menjauhi sistem dan kehidupan yang kufur itu.
Tak pelak lagi, kendati dengan konteks yang berbeda, menjadi golput itu sangat di-halal-kan, kendati tetap saja membutuhkan pemikiran mendalam guna dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan legal. Dengan kata lain, golput tidak boleh dilakukan karena dendam, kecewa, maupun alasan-alasan personal lainnya sehingga menjadi anarchy. Golput hanya boleh dilakukan di tengah ketiadaan celah untuk melakukan perubahan yang lebih baik, termasuk pula ketiadaan pilihan yang lebih baik kendati diantara alternatif pilihan yang buruk.
Dalam jangka pendek tindakan golput memang sia-sia karena tidak mengubah apapun, namun dalam jangka panjang justru menjadi bagian penting dari pendidikan politik menuju ke tingkat kematangan berpolitik dan berdemokrasi (maturity). Golput adalah salah satu instrumen gerakan moral rakyat yang dilakukan dengan cara mengekspresikan ekspresinya dengan tidak berekspresi (silent movement). Dan harusnya, tanpa harus menunggu menjadi silent majority, pemimpin dan elite politik harusnya mampu membuka mata, hati, dan telinganya untuk berintrospeksi guna memahami gejala public distrust dan mass disobedience ini guna lebih mengabdikan dirinya bagi sebesar-besar kemaslahatan rakyat. Kalaupun ini tidak terjadi, yakinlah bahwa golput tidak pernah menjadi sia-sia di mata Sang Maha Penguasa.
Labels:
Fenomena,
Perlawanan,
Sejarah
1/18/2014
Gegana: Gerakan Golput Anak Bangsa
Sekalipun, genderang “perang” sudah ditabuh para calon legislatif, baik ditingkat pusat, provinsi, dan daerah dengan berbagai aktifitas yang mereka lakukan, tak membuat rakyat terus antusias menyambut pemilu 2014.
Para calon legislatif sudah mengumbar janji, dan segala tebar pesona, dan janji-janji akan memperjuangkan nasib rakyat lebih baik, membuat rakyat sejahtera, memperjuangkan keadilan, melindungi fakir miskin, tetapi semua itu dipandang oleh rakyat hanyalah : “PHP” (pemberi harapan palsu).
Baliho, poster, foto, gambar, spanduk, dan berbagai pesan-pesan dari para calon sudah disebar di mana-mana. Bahkan menggunakan kenderaan umum, angkot, pohon, tiang listrik, dan bahkan tempat makam (kuburan) pun, dijadikan tempat memasang spanduk dan baliho.
Stasiun telivisi, radio, media massa, sekarang sudah jor-joran melakukan kampanye dengan berbagai modus. Semuanya tujuan menarik para pemilih agar mendukung dan memberikan suara kepada mereka. Mereka diminta agar tidak “Golput” alias menggunakan hak pilihnya,.
Tetap saja rakyat disuguhi berbagai gambaran yang negatif dari para anggota legislatif, dan menjelaskan dengan telanjang, sesungguhnya bagaimana komitmen mereka terhadap rakyat.
Mereka mendapatkan gaji besar, dan berbagai isentif dan fasilitas, tapi tidak menunjukkan adanya komitmen yang sungguh-sungguh, di mana peristiwa yang ditunjukkan para anggota legislatif, saat pembukaan rapat Paripurna, kemarin, hanya 50 persen kehadiran mereka.
Kemangkiran para anggota legislatif ini, bukan pertamakalinya, tetapi sudah berulangkali. Apalagi, sekarang sudah mulai kampanye, DPR sudah domisioner alias sudah tidak efektif lagi. Rapat-rapat komisi juga kehadiran anggota DPR sudah sangat minim. Produk pembuatan undang-undang juga tidak memenuhi target. Apalagi produk yang mereka buat, tidak menunjukkan adanya keberpihakan kepada kepentingan rakyat dan bangsa.
Apalagi, belakangan ini banyak anggota legislatif dan pemimpin partai yang menjadi tersangka dan digelandang KPK, dan bahkan menjadi tersangka dan ditahan. Kemarin kantor ruangan sebuah Fraksi Partai Demokrat dan Komisi VII, digeledah KPK, dan barang-barang dan dokumen diambil oleh tim KPK. Sungguh sangat tidak memberikan gambaran positif bagi masa depan lagislatif. Semua itu, karena akibat ulah mereka.
Belum lagi, sudah berapa banyak gubernur, bupati, walikota, anggota legislatif, dan menteri yang menjadi tersangka dan ditahan oleh KPK? Sudah lebih 60 persen gubernur yang menjadi tersangka oleh KPK. Ini menunjukkan produk pemillihan legislatif, pemilihan presiden tidak otomatis menghasilkan produk yang baik.
Sekarang rasa skeptis dan pesimis membayangi Pemilu 2014. Hal ini disinyalir dkarena kepercayaan publi k merosot tajam, akibat banyak kader dan para pemimin partai yang terjerat oleh kasus hukum, kinerja mereka tidak memperlihatkan nilai positif.
Sikap skeptis sangat nampak dengan jelas bersamaan terus meningkatnya angka “Golput”. Ini dapat dilihat dengan sangat jelas, pemilu tahun 1999, angkat “Golput” sudah 10,21 persen, kemudian pemilu 2004, menjadi 23,34 persen, dan pemilu 2009, sudah mencapai 29,01 persen.
Di pemilu ini, jumlah “Golput” meningkat sangat tajam, mencapai rata-rara diatas 45 persen. Bahkan, dibeberapa daerah suara “Golput” sangat tinggi, seperti di Sumatera utara “Golput” mencapai 60 persen, di Sumatara Selatan “Golput” mencapai 50 persen.
Di Jawa angka “Golput” juga sangat tinggi, di DKI “Golput” jumlahnya 45 persen, Jawa Barat “Golput” 47 persen, Jawa Tengah “Golput” 50 persen, dan Jawa Timur “Golput” mencapai 45 persen. Ini menggambarkan tingkat kepercayaan rakyat sangat rendah terhadap partai politik dan calon anggota lesitlatif.
Karena setiap lima tahun, tidak ada tanda-tanda kemajuan yang dicapai oleh lagislatif sebagai lembaga wakil rakyat. Jika angka "Golput" tinggi diatas 40 persen, maka ini benar-benar menjadi ancaman bagi legitimasi pemilu 2014, termasuk produk yang dihasilkannya.
Dibagian lain, hasil pilpres 2004 angka “Golput” mencapai 21,5 persen, kemudian di tahun 2009 naik menjadi 23,3 persen, dan akan menjadi lebih tinggi lagi di pilpres 2014 ini, bisa mencapai angka lebih 35 persen. Apalagi, tidak ada calon-calon yang memadai sebagai calon presiden mendatang. Semua yang maju kebanyakan wajah “lama” alias “the old man”, dan sudah tidak menarik lagi, dan tidak memberkan optimisme bagi masa depan Indonesia.
Perubahan apa yang bisa diharapkan bagi masa depan Indonesia tokoh-tokoh seperti Mega, JokowSi, Prabowo, Wiranto, Aburizal Bakri, Mahfudz MD? Semua sudah sangat jelas rekam jejak mereka di masa lalu.
Pemilu legislatif dan pemilu presiden hanyalah aktifitas kesia-siaan belaka, dan menghabiskan uang puluhan triliun, tetapi tidak menghasilkan tokoh, pemimin, dan presiden yang berkualitas, dan memiliki komitmen membangun rakyat Indonesia, dan yang muncul hanyalah, para calon : “tersangka korupsi baru”. Sungguh malang rakyat Indonesia.
Para calon legislatif sudah mengumbar janji, dan segala tebar pesona, dan janji-janji akan memperjuangkan nasib rakyat lebih baik, membuat rakyat sejahtera, memperjuangkan keadilan, melindungi fakir miskin, tetapi semua itu dipandang oleh rakyat hanyalah : “PHP” (pemberi harapan palsu).
Baliho, poster, foto, gambar, spanduk, dan berbagai pesan-pesan dari para calon sudah disebar di mana-mana. Bahkan menggunakan kenderaan umum, angkot, pohon, tiang listrik, dan bahkan tempat makam (kuburan) pun, dijadikan tempat memasang spanduk dan baliho.
Stasiun telivisi, radio, media massa, sekarang sudah jor-joran melakukan kampanye dengan berbagai modus. Semuanya tujuan menarik para pemilih agar mendukung dan memberikan suara kepada mereka. Mereka diminta agar tidak “Golput” alias menggunakan hak pilihnya,.
Tetap saja rakyat disuguhi berbagai gambaran yang negatif dari para anggota legislatif, dan menjelaskan dengan telanjang, sesungguhnya bagaimana komitmen mereka terhadap rakyat.
Mereka mendapatkan gaji besar, dan berbagai isentif dan fasilitas, tapi tidak menunjukkan adanya komitmen yang sungguh-sungguh, di mana peristiwa yang ditunjukkan para anggota legislatif, saat pembukaan rapat Paripurna, kemarin, hanya 50 persen kehadiran mereka.
Kemangkiran para anggota legislatif ini, bukan pertamakalinya, tetapi sudah berulangkali. Apalagi, sekarang sudah mulai kampanye, DPR sudah domisioner alias sudah tidak efektif lagi. Rapat-rapat komisi juga kehadiran anggota DPR sudah sangat minim. Produk pembuatan undang-undang juga tidak memenuhi target. Apalagi produk yang mereka buat, tidak menunjukkan adanya keberpihakan kepada kepentingan rakyat dan bangsa.
Apalagi, belakangan ini banyak anggota legislatif dan pemimpin partai yang menjadi tersangka dan digelandang KPK, dan bahkan menjadi tersangka dan ditahan. Kemarin kantor ruangan sebuah Fraksi Partai Demokrat dan Komisi VII, digeledah KPK, dan barang-barang dan dokumen diambil oleh tim KPK. Sungguh sangat tidak memberikan gambaran positif bagi masa depan lagislatif. Semua itu, karena akibat ulah mereka.
Belum lagi, sudah berapa banyak gubernur, bupati, walikota, anggota legislatif, dan menteri yang menjadi tersangka dan ditahan oleh KPK? Sudah lebih 60 persen gubernur yang menjadi tersangka oleh KPK. Ini menunjukkan produk pemillihan legislatif, pemilihan presiden tidak otomatis menghasilkan produk yang baik.
Sekarang rasa skeptis dan pesimis membayangi Pemilu 2014. Hal ini disinyalir dkarena kepercayaan publi k merosot tajam, akibat banyak kader dan para pemimin partai yang terjerat oleh kasus hukum, kinerja mereka tidak memperlihatkan nilai positif.
Sikap skeptis sangat nampak dengan jelas bersamaan terus meningkatnya angka “Golput”. Ini dapat dilihat dengan sangat jelas, pemilu tahun 1999, angkat “Golput” sudah 10,21 persen, kemudian pemilu 2004, menjadi 23,34 persen, dan pemilu 2009, sudah mencapai 29,01 persen.
Di pemilu ini, jumlah “Golput” meningkat sangat tajam, mencapai rata-rara diatas 45 persen. Bahkan, dibeberapa daerah suara “Golput” sangat tinggi, seperti di Sumatera utara “Golput” mencapai 60 persen, di Sumatara Selatan “Golput” mencapai 50 persen.
Di Jawa angka “Golput” juga sangat tinggi, di DKI “Golput” jumlahnya 45 persen, Jawa Barat “Golput” 47 persen, Jawa Tengah “Golput” 50 persen, dan Jawa Timur “Golput” mencapai 45 persen. Ini menggambarkan tingkat kepercayaan rakyat sangat rendah terhadap partai politik dan calon anggota lesitlatif.
Karena setiap lima tahun, tidak ada tanda-tanda kemajuan yang dicapai oleh lagislatif sebagai lembaga wakil rakyat. Jika angka "Golput" tinggi diatas 40 persen, maka ini benar-benar menjadi ancaman bagi legitimasi pemilu 2014, termasuk produk yang dihasilkannya.
Dibagian lain, hasil pilpres 2004 angka “Golput” mencapai 21,5 persen, kemudian di tahun 2009 naik menjadi 23,3 persen, dan akan menjadi lebih tinggi lagi di pilpres 2014 ini, bisa mencapai angka lebih 35 persen. Apalagi, tidak ada calon-calon yang memadai sebagai calon presiden mendatang. Semua yang maju kebanyakan wajah “lama” alias “the old man”, dan sudah tidak menarik lagi, dan tidak memberkan optimisme bagi masa depan Indonesia.
Perubahan apa yang bisa diharapkan bagi masa depan Indonesia tokoh-tokoh seperti Mega, JokowSi, Prabowo, Wiranto, Aburizal Bakri, Mahfudz MD? Semua sudah sangat jelas rekam jejak mereka di masa lalu.
Pemilu legislatif dan pemilu presiden hanyalah aktifitas kesia-siaan belaka, dan menghabiskan uang puluhan triliun, tetapi tidak menghasilkan tokoh, pemimin, dan presiden yang berkualitas, dan memiliki komitmen membangun rakyat Indonesia, dan yang muncul hanyalah, para calon : “tersangka korupsi baru”. Sungguh malang rakyat Indonesia.
Labels:
Fenomena,
Opini,
Perlawanan
1/18/2014
Kedua, oleh karena orang-orang yang menghembuskan kejahatan dan menebarkannya telah menggunakan berbagai cara dan sarana dan mereka bekerja secara terprogram dan tersetruktur rapih, maka kita diharuskan untuk bekerja sama dalam membentengi umat ini dari akibat negatif yang ingin ditimpakan kepada umat dan bangsa ini. Kita wajib bekerjasama dalam berdakwah, berjamaah dan berharokah. Bila kita tidak bahu membahu melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, maka muncul malapetaka di atas muka bumi ini. Allah berfirman:
Artinya: “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar”. (Al-Anfaal: 73).
Ketiga, oleh karena orang-orang yang ingin merusak bangsa kita ini menggunakan sarana politik, ekonomi, budaya dan lainnya bahkan mungkin membonceng kekuatan politik tertentu atau pemerintahan tertentu, maka kita diharuskan untuk berpolitik agar kita jangan sampai digusur dari arena perjuangan politik oleh mereka.
Empat, sistem pemerintahan di Indonesia adalah sistem demokrasi yang mana suara rakyat diwakili oleh wakil-wakilnya di DPR. Maka suara umat Islam akan tersalurkan bila wakil-wakil umat Islam banyak menduduki kursi DPR. Kita wajib ikut pemilu atau pilkada agar kursi umat Islam semakin banyak dan pemerintahan dipegang oleh orang yang mengerti agama, amanah dan jujur.
Golput Pilihan Cerdas
Golput adalah singkatan dari golongan putih. Dalam pemilu atau pilkada Golput sering dimaksudkan sekelompok orang-orang yang tidak mau ikut serta memberikan suara untuk suatu partai tertentu atau memilih calon DPD, DPR, calon gubernur atau presiden. Mereka tidak mau ikut serta dalam hiruk pikuk pemilu atau pilkada dan kalaupun ikut memberikan suara maka semua gambar yang ada dalam kertas pemilu atau pilkada ditusuk semuanya sehingga tidak sah dan membuang suara percuma. Jadi, biasanya ciri gerakan ini adalah mereka sama sekali tidak mencoblos gambar partai manapun atau memang sama sekali tidak menggunakan hak pilihnya (tidak datang sama sekali ke TPS). Berbagai macam alasan yang mereka lontarkan sehingga tidak mau ikut serta dalam pemilu atau pilkada antara lain:
Pertama, sistem pemilu atau pilkada, menurut sebagian mereka adalah sistem jahiliyah yang tidak boleh kita ikuti. sebab bila kita ikuti berarti kita setuju dengan sistem jahiliyah, ikut masuk kedalamnya dan bahkan memperkuat sistem jahiliyah tersebut. Alasan ini sering diajukan oleh kelompok ekstrim yang merasa benar sendiri dan orang yang tidak ikut bersama mereka dianggap telah keluar dari Islam. Alasan mereka ini perlu kita timbang dengan berbagai pendapat sekitar kewajiban untuk berpartai dan memberikan suara dalam pemilu atau pilkada.
Kedua, sebagian lain menganggap bahwa semua partai yang ikut dalam pemilu atau pilkada tidak ideal dan tidak ada yang bisa dipercaya untuk menyampaikan aspirasinya. Alasan ini seringkali muncul dari orang-orang yang mungkin sudah pernah putus asa dalam perjuangan lewat partai atau orang yang merasa kepentingan diri dan kelompoknya tidak tersalurkan lewat partai peserta pemilu atau pilkada.
Ketiga, sebagian lainnya menganggap pemilu atau pilkada hanyalah pemborosan. Sebab, sejak zaman pemerintahan Sukarno sampai sekarang tidak menambah kesejahteraan rakyat. Para politisi yang menjadi anggota legislatif atau para pejabat pemerintah yang memegang kekuasaan, setelah menduduki kursi jabatan di parlemen atau di eksekutif, mayoritas mereka hanyalah memikirkan kontong dan kepentingan diri dan kelompoknya saja, tidak memperjuangkan aspirasi rakyat setulus-tulusnya dan semampu mereka. Sebagian konstituen sudah merasa muak dengan prilaku para politisi yang kerjanya cuma memikirkan dirinya dan kelompoknya. Pemilu atau pilkada menurut mereka hanyalah sebuah konotasi plesetan : “Pembuat PiLu” hati rakyat.
Alasan kedua dan ketiga merupakan alasan orang-orang yang sudah putus asa dalam mengusahakan dan memperbaiki masyarakat lewat politik; dalam hal ini lewat pemilu atau pilkada. Atau bisa jadi merupakan alasan orang-orang yang kepentingannya tidak bisa diakomodasi oleh salah satu partai peserta pemilu atau pilkada.
Dari tiga alasan diatas, masih banyak alasan-alasan lain yang membuat orang tidak mau ikut memberikan suaranya dalam pemilu atau pilkada. Sebagian orang telah membangkitkan gerakan Golput ini, didasarkan pada suatu analisa bahwa sistem yang ada hanyalah sistem untuk menopang kekuasaan yang ada, sistem yang sengaja dikloning oleh penguasa untuk melanggengkan tirani mereka. Namun, alasan-alasan lain itu akan bisa ditimbang dengan berbagai alasan yang mengharuskan kita untuk tidak Golput baik dalam pemilihan anggota legislatif ataupun pemilihan DPD apalagi dalam pemilihan gubernur atau presiden. Bahkan, kita harus proaktif dalam mengajak Umat agar memilih caleg partai yang memihak kepada ideologi dan kepentingannya sebagai muslim dan sebagai warga negara Indonesia. Apalagi dalam pemilihan gubernur DKI yang sangat menentukan perjalananpenduduk Ibukota ke depan.
HUKUM GOLPUT
Untuk memberikan persepsi yang ideal yang mengantarkan sebuah pemahaman akan boleh atau tidaknya melakukan Golput, barangkali kita perlu mengkaji beberapa hal di bawah ini, antara lain:
Pertama, kondisi umat manusia dewasa ini yang sudah rusak, dan kejahatan juga sudah tersebar di seluruh jaringan sel kehidupan masyarakat. Kondisi ini sangat membutuhkan sebuah solusi agar dapat dihindarkan dari jurang kehancuran dan kembali kepada jalan yang benar. Agar mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Jika mau membaca dengan cermat, krisis multidimensional yang menimpa bangsa ini disebabkan tidak tegaknya amar ma’ruf dan nahi munkar. Maka menegakkan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar di bumi pertiwi Indonesia adalah solusi yang akan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan di atas.
Kedua, sebagian lain menganggap bahwa semua partai yang ikut dalam pemilu atau pilkada tidak ideal dan tidak ada yang bisa dipercaya untuk menyampaikan aspirasinya. Alasan ini seringkali muncul dari orang-orang yang mungkin sudah pernah putus asa dalam perjuangan lewat partai atau orang yang merasa kepentingan diri dan kelompoknya tidak tersalurkan lewat partai peserta pemilu atau pilkada.
Ketiga, sebagian lainnya menganggap pemilu atau pilkada hanyalah pemborosan. Sebab, sejak zaman pemerintahan Sukarno sampai sekarang tidak menambah kesejahteraan rakyat. Para politisi yang menjadi anggota legislatif atau para pejabat pemerintah yang memegang kekuasaan, setelah menduduki kursi jabatan di parlemen atau di eksekutif, mayoritas mereka hanyalah memikirkan kontong dan kepentingan diri dan kelompoknya saja, tidak memperjuangkan aspirasi rakyat setulus-tulusnya dan semampu mereka. Sebagian konstituen sudah merasa muak dengan prilaku para politisi yang kerjanya cuma memikirkan dirinya dan kelompoknya. Pemilu atau pilkada menurut mereka hanyalah sebuah konotasi plesetan : “Pembuat PiLu” hati rakyat.
Alasan kedua dan ketiga merupakan alasan orang-orang yang sudah putus asa dalam mengusahakan dan memperbaiki masyarakat lewat politik; dalam hal ini lewat pemilu atau pilkada. Atau bisa jadi merupakan alasan orang-orang yang kepentingannya tidak bisa diakomodasi oleh salah satu partai peserta pemilu atau pilkada.
Dari tiga alasan diatas, masih banyak alasan-alasan lain yang membuat orang tidak mau ikut memberikan suaranya dalam pemilu atau pilkada. Sebagian orang telah membangkitkan gerakan Golput ini, didasarkan pada suatu analisa bahwa sistem yang ada hanyalah sistem untuk menopang kekuasaan yang ada, sistem yang sengaja dikloning oleh penguasa untuk melanggengkan tirani mereka. Namun, alasan-alasan lain itu akan bisa ditimbang dengan berbagai alasan yang mengharuskan kita untuk tidak Golput baik dalam pemilihan anggota legislatif ataupun pemilihan DPD apalagi dalam pemilihan gubernur atau presiden. Bahkan, kita harus proaktif dalam mengajak Umat agar memilih caleg partai yang memihak kepada ideologi dan kepentingannya sebagai muslim dan sebagai warga negara Indonesia. Apalagi dalam pemilihan gubernur DKI yang sangat menentukan perjalananpenduduk Ibukota ke depan.
HUKUM GOLPUT
Untuk memberikan persepsi yang ideal yang mengantarkan sebuah pemahaman akan boleh atau tidaknya melakukan Golput, barangkali kita perlu mengkaji beberapa hal di bawah ini, antara lain:
Pertama, kondisi umat manusia dewasa ini yang sudah rusak, dan kejahatan juga sudah tersebar di seluruh jaringan sel kehidupan masyarakat. Kondisi ini sangat membutuhkan sebuah solusi agar dapat dihindarkan dari jurang kehancuran dan kembali kepada jalan yang benar. Agar mendapatkan kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat. Jika mau membaca dengan cermat, krisis multidimensional yang menimpa bangsa ini disebabkan tidak tegaknya amar ma’ruf dan nahi munkar. Maka menegakkan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar di bumi pertiwi Indonesia adalah solusi yang akan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan di atas.
Kedua, oleh karena orang-orang yang menghembuskan kejahatan dan menebarkannya telah menggunakan berbagai cara dan sarana dan mereka bekerja secara terprogram dan tersetruktur rapih, maka kita diharuskan untuk bekerja sama dalam membentengi umat ini dari akibat negatif yang ingin ditimpakan kepada umat dan bangsa ini. Kita wajib bekerjasama dalam berdakwah, berjamaah dan berharokah. Bila kita tidak bahu membahu melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, maka muncul malapetaka di atas muka bumi ini. Allah berfirman:
وَٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بَعۡضُہُمۡ أَوۡلِيَآءُ بَعۡضٍۚ إِلَّا تَفۡعَلُوهُ تَكُن فِتۡنَةٌ۬ فِى ٱلۡأَرۡضِ وَفَسَادٌ۬ ڪَبِيرٌ۬
Artinya: “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar”. (Al-Anfaal: 73).
Ketiga, oleh karena orang-orang yang ingin merusak bangsa kita ini menggunakan sarana politik, ekonomi, budaya dan lainnya bahkan mungkin membonceng kekuatan politik tertentu atau pemerintahan tertentu, maka kita diharuskan untuk berpolitik agar kita jangan sampai digusur dari arena perjuangan politik oleh mereka.
Empat, sistem pemerintahan di Indonesia adalah sistem demokrasi yang mana suara rakyat diwakili oleh wakil-wakilnya di DPR. Maka suara umat Islam akan tersalurkan bila wakil-wakil umat Islam banyak menduduki kursi DPR. Kita wajib ikut pemilu atau pilkada agar kursi umat Islam semakin banyak dan pemerintahan dipegang oleh orang yang mengerti agama, amanah dan jujur.
Labels:
Opini,
Pengertian Golput,
Sejarah
1/18/2014
Akibat Merosotnya Kepercayaan Terhadap Parpol
Tidak adanya kepercayaan rakyat kepada elite politik dan para pemimpin, baik di eksekutif maupun legislatif, akan mendorong masyarakat apriori, termasuk dalam menghadapi Pemilu dan Pilpres 2014. Rakyat diprediksi banyak yang tidak akan menggunakan hak pilihnya alias golput, bahkan bisa jadi golput akan menang.
“Kepercayaan rakyat terhadap elite politik hampir mencapai titik nadir. Ini karena para pemimpin tidak lagi berpihak kepada rakyat. Akibatnya, rakyat apriori. Golput akan meningkat, bahkan bisa jadi menjadi pemenang pada 2014, baik dalam pemilu legislatif maupun pemilu presiden,” ungkap pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Jakarta, Arbi Sanit menjawab Dialog di Jakarta, kemarin.
Saat ini, kata Arbi, rakyat dalam kondisi sengsara, namun para pemimpin seakan tak pernah hadir di tengah-tengah mereka. Ketika rakyat dihajar kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok pasca-kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) serta menjelang Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri 1434 H, misalnya daging sapi sampai Rp115.000 per kilogram (kg), bahkan cabai rawit merah sampai Rp100.000 per kg, ternyata para pemimpin tidak bisa cepat bertindak. “Respons pemerintah selalu terlambat, sementara rakyat terlanjur menderita,” ujarnya.
Pasca-Lebaran nanti, lanjut Arbi, masyarakat juga akan dihadapkan pada kesulitan-kesulitan baru, misalnya rencana kenaikan harga liquid petroleum gas (LPG) atau elpiji tabung kapasitas 12 kg, meskipun masih terjadi tarik-ulur antara Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik. “Bila harga elpiji jadi naik, beban masyarakat akan bertambah berat,” tukasnya.
DPR yang diharapkan menjadi pembela rakyat, dinilai Arbi justru menjadi semacam lembaga stempel bagi pemerintah, termasuk terhadap kenijakan-kebijakan yang melukai hati rakyat, dengan adanya Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Parpol Pendukung Pemerintah yang dimotori Partai Demokrat. Tidak itu saja, perilaku para anggota DPR juga mengecewakan, misalnya bermewah-mewah di tengah kemiskinan rakyat. “Kekecewaan itu akan terakumulasi dan rakyat menemukan momentum pembalasan pada Pemilu 2014. Angka golput akan meningkat,” tegasnya.
Arbi lalu membeberkan data yang menunjukkan kecenderungan naiknya angka golput serta menurunnya partisipasi pemilih dari pemilu ke pemilu dan dari pilpres ke pilpres.
Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 1999 mencapai 93,33%, Pemilu 2004 turun menjadi 84,9%, dan Pemilu 2009 turun lagi menjadi 70,99%. Pemilu 2014, diprediksi hanya tinggal 54%, namun prediksi optimis Lingkaran Survei Indonesia (LSI) masih pada angka 60%. Di pihak lain, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menargetkan tingkat partisipasi pemilih 75% sesuai target pembangunan. Dari sekitar 236 juta penduduk Indonesia, kemungkinan calon pemilih Pemilu 2014 adalah 191 juta orang.
Angka golput juga terus meningkat. Pemilu 1999 angka golput 10,21%, Pemilu 2004 naik menjadi 23,34%, dan Pemilu 2009 naik lagi menjadi 29,01%. Bandingkan dengan angka golput pada pemilu era Orde Lama dan Orde Baru (1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997) yang tak pernah lebih dari 10%.
Untuk Pemilu Presiden dan Pemilu Kepala Daerah, angka golput juga tinggi. Pilpres 2004 angka golput 21,5%, Pilpres 2009 naik menjadi 23,3% (angka partisipasi pemilih Pilpres 2009 sebesar 72,09%). Angka golput pemilukada rata-rata 27,9%. “Bila mereka yang tidak berpartisipasi dalam pemilu digabungkan dengan golput, bisa jadi mereka akan menang pada 2014,” tandas Arbi.
“Kepercayaan rakyat terhadap elite politik hampir mencapai titik nadir. Ini karena para pemimpin tidak lagi berpihak kepada rakyat. Akibatnya, rakyat apriori. Golput akan meningkat, bahkan bisa jadi menjadi pemenang pada 2014, baik dalam pemilu legislatif maupun pemilu presiden,” ungkap pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Jakarta, Arbi Sanit menjawab Dialog di Jakarta, kemarin.
Saat ini, kata Arbi, rakyat dalam kondisi sengsara, namun para pemimpin seakan tak pernah hadir di tengah-tengah mereka. Ketika rakyat dihajar kenaikan berbagai harga kebutuhan pokok pasca-kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) serta menjelang Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri 1434 H, misalnya daging sapi sampai Rp115.000 per kilogram (kg), bahkan cabai rawit merah sampai Rp100.000 per kg, ternyata para pemimpin tidak bisa cepat bertindak. “Respons pemerintah selalu terlambat, sementara rakyat terlanjur menderita,” ujarnya.
Pasca-Lebaran nanti, lanjut Arbi, masyarakat juga akan dihadapkan pada kesulitan-kesulitan baru, misalnya rencana kenaikan harga liquid petroleum gas (LPG) atau elpiji tabung kapasitas 12 kg, meskipun masih terjadi tarik-ulur antara Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik. “Bila harga elpiji jadi naik, beban masyarakat akan bertambah berat,” tukasnya.
DPR yang diharapkan menjadi pembela rakyat, dinilai Arbi justru menjadi semacam lembaga stempel bagi pemerintah, termasuk terhadap kenijakan-kebijakan yang melukai hati rakyat, dengan adanya Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Parpol Pendukung Pemerintah yang dimotori Partai Demokrat. Tidak itu saja, perilaku para anggota DPR juga mengecewakan, misalnya bermewah-mewah di tengah kemiskinan rakyat. “Kekecewaan itu akan terakumulasi dan rakyat menemukan momentum pembalasan pada Pemilu 2014. Angka golput akan meningkat,” tegasnya.
Arbi lalu membeberkan data yang menunjukkan kecenderungan naiknya angka golput serta menurunnya partisipasi pemilih dari pemilu ke pemilu dan dari pilpres ke pilpres.
Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 1999 mencapai 93,33%, Pemilu 2004 turun menjadi 84,9%, dan Pemilu 2009 turun lagi menjadi 70,99%. Pemilu 2014, diprediksi hanya tinggal 54%, namun prediksi optimis Lingkaran Survei Indonesia (LSI) masih pada angka 60%. Di pihak lain, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menargetkan tingkat partisipasi pemilih 75% sesuai target pembangunan. Dari sekitar 236 juta penduduk Indonesia, kemungkinan calon pemilih Pemilu 2014 adalah 191 juta orang.
Angka golput juga terus meningkat. Pemilu 1999 angka golput 10,21%, Pemilu 2004 naik menjadi 23,34%, dan Pemilu 2009 naik lagi menjadi 29,01%. Bandingkan dengan angka golput pada pemilu era Orde Lama dan Orde Baru (1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997) yang tak pernah lebih dari 10%.
Untuk Pemilu Presiden dan Pemilu Kepala Daerah, angka golput juga tinggi. Pilpres 2004 angka golput 21,5%, Pilpres 2009 naik menjadi 23,3% (angka partisipasi pemilih Pilpres 2009 sebesar 72,09%). Angka golput pemilukada rata-rata 27,9%. “Bila mereka yang tidak berpartisipasi dalam pemilu digabungkan dengan golput, bisa jadi mereka akan menang pada 2014,” tandas Arbi.
1/18/2014
Pengantar
Golput atau golongan putih merupakan sebuah istilah atau jargon yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Golput sering ditujukan kepada kelompok masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum (Pemilu). Golput mencerminkan tidak adanya partisipasi rakyat terhadap kehidupan negara. Masyarakat mulai apatis dengan kehidupan bersama dalam masyarakat.
Kerangka Teori
Analisa Masalah
Penutup
Kesimpulan
Golput Dan Partisipasi Politik Aristoteles
BAB I
Pengantar
Golput atau golongan putih merupakan sebuah istilah atau jargon yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Golput sering ditujukan kepada kelompok masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum (Pemilu). Golput mencerminkan tidak adanya partisipasi rakyat terhadap kehidupan negara. Masyarakat mulai apatis dengan kehidupan bersama dalam masyarakat.
Menurut artikel ”Golput dan Alienasi Politik” yang ditulis oleh Burhanuddin Muhtadi, golput dalam pemilu 2009 makin besar. Hal ini dapat terlihat data-data dalam pilkada (pemilihan kepala daerah) tingkat Provinsi dan Kabupaten yang mencapai angka empat puluh persen. Gejala golput pemilu 2009 dapat mulai terlihat dalam fenomena pemilu legislatif tahun 1999 dan pemilu tahun 2004. Pada pemilu leglislatif 1999, pemilih yang menggunakan hak pilihnya sekitar sembilan puluh dua persen (92%). Akan tetapi, pada pemilu leglislatif 2004 pemilih yang menggunakan hak pilihnya turun menjadi sekitar delapan puluh empat persen (84%).
Ada banyak penyebab masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya. Salah satu penyebabnya adalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan sistem pemilu. Masyarakat merasa dibohongi oleh janji para calon pemimpin. Pemilu hanya alat atau sarana bagi calon pemimpin untuk memperkuat golongan atau kelompok tertentu tanpa memperhatikan keadaan masyarakat.
Fenemona golput memberikan sebuah wacana refleksi diri untuk melihat keadaan hidup masyarakat Indonesia saat ini. Golput memunculkan sekilas pertanyaan bagi kita yaitu masihkah manusia dapat disebut sebagai mahkluk sosial jika ia tidak berpartisipasi dalam kehidupan masyarkat? Pertanyaan itu muncul sebagai reaksi atas masyarakat yang mulai menutup mata akan kehidupan bersama masyarakat. Mereka hanya mementingkan kepentingan diri dan kelompok.
Latar belakang penulisan ini adalah penulis prihatin terhadap masyarakat tentang lunturnya sikap hidup bersama. Lunturnya sikap hidup bersama tidak sesuai dengan bentuk demokrasi Indonesia yang mengedepankan partisipasi rakyat dalam politik. Politik mempunyai arti soal kehidupan bersama. Oleh karena itu, pertanyaan umum yang harus dijawab adalah bagaimana cara kita dapat hidup bersama?
Secara garis besar paper ini dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah dan penulisan paper ini. Bagian kedua berisi landasan teori partisipasi politik menurut Aristoteles. Bagian ini memberikan pendasaran filosofis tentang kehidupan bersama menurut pemikiran Aristoteles. Bagian ketiga merupakan analisa tentang cara hidup bersama lewat fenomena golput. Bagian keempat adalah kesimpulan sebagai jawaban tentang cara hidup bersama di Indonesia. Pada bagian iini juga terdapat tanggapan kritis penulis terhadap landasan teori dan fenomena yang diangkat oleh penulis.
BAB II
Kerangka Teori
Aristoteles adalah seorang filsuf besar pada zaman Yunani Kuno. Ia hidup pada abad ketiga sebelum masehi. Ia adalah murid Plato selama kurang lebih dua puluh tahun di Akademia Plato hingga Plato meninggal. Akan tetapi, pemikiran Aristoteles berbeda dengan Plato. Aristoteles adalah seorang filsuf realis sedangkan Plato merupakan seorang filsuf idealis.
Salah satu sumbangan pemikiran Aristoteles kepada filsafat adalah filsafat politik. Filsafat politik Aristoteles merupakan sebuah ajaran tentang negara. Filsafat politiknya banyak dipengaruhi oleh ajarannya tentang etika individual. Ia menyajikan filsafat politik dalam salah suatu tulisan yang berjudul Politica.
Konsep negara Aristoteles adalah konsep negara kota atau polis atau civil state. Ada dua hal yang melatarbelakangi munculnya pemikiran konsep polis ini. Pertama yaitu penolakan atau ketidaksetujuan Aristoteles terhadap ajaran kaum sofis. Kaum sofis berpendapat bahwa negara didirikan berdasarkan adat kebiasaan dan bukan kodrat yang alamiah. Sebuah negara didirikan atas kehendak sekelompok orang yang mempunyai kebiasaan tertentu yang sama. Ajaran kaum sofis ini mengisyaratkan bahwa negara merupakan alat untuk mencapai keinginan subyektif.
Akan tetapi, negara bagi Aristoteles bukan hanya sekedar instrument atau alat. Negara merupakan sebuah organisme yang anggota saling berelasi. Relasi antar organisme mempunyai pola pertumbuhan dan perkembangan. Mereka saling terhubung satu sama lain sehingga muncul suatu komunitas organisme.
Kedua adalah manusia menurut kodratnya adalah mahkluk sosial atau zoon politikon. Manusia membutuhkan satu sama lain. Hal ini terjadi tidak secara kebetulan dan terjadi secara alamiah. Hanya manusia yang dapat hidup bersama dan membentuk sebuah polis.
Kota dalam pengertian Aristoteles adalah sebuah spesies asosiasi yang ada demi kebaikan tertentu. Kota merupakan sebuah asosiasi teringgi dan bersifat inklusif karena kota terarah pada kebaikan tertinggi dari segala kebaikan. Semua orang dalam kota melakukan tindakannya pada kebaikan tertinggi itu. Kebaikan tertinggi itu bersifat umum.
Jika kota merupakan sebuah asosiasi tertinggi, maka ada asosiasi lain yang ada di bawah kota. Asosiasi itu adalah keluarga dan desa. Keluarga merupakan asosiasi pertama yang dilembagakan secara ilmiah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari secara berulang. Akan tetapi, keluarga tidak dapat memenuhi keseluruhan kebutuhan manusia. Hal yang tidak dapat dipenuhi oleh keluarga adalah kebutuhan manusia untuk hidup bersama. Manusia dengan insting sosialnya membutuhkan kebersamaan social dan politis.
Asosiasi kedua adalah desa. Desa merupakan asosiasi alami yang dibentuk oleh keluarga dari rumah tangga untuk pemenuhan sesuatu yang lebih dari sekedar pemenuhan sehari-hari yang berulang. Keluarga-keluarga berkumpul untuk saling membantu dan melindungi. Bentuk nyata desa adalah kampung atau perkampungan. Manusia mulai dapat terpenuhi social dan politisnya, namun asosiasi ini masih terbatas untuk memenuhi kebutuhan tertinggi manusia.
Asosiasi ketiga adalah kota (polis). Polis merupakan asosiasi terakhir dan sempurna yang terbentuk dari sejumlah desa.[10] Polis merupakan tujuan terakhir dari semua asosiasi itu. Polis terbentuk secara alamiah karena asosiasi yang membentuk polis adalah alami. Tujuan terbentuknya Polis adalah untuk menjamin keberlangsungan hidup bersama.
Semua manusia yang hidup dalam Polis adalah mahkluk politik. Manusia adalah mahkluk politik karena manusia dengan kemampuan akalnya yang rasional mampu mempertimbangkan dan memutuskan hal yang benar dan salah dari tindakan-tindakannya. Akan tetapi, Arsitoteles secara tegas melakukan distingsi terhadap manusia yang hidup dalam Polis.
Dua kelompok itu adalah kelompok ‘manusia lengkap’ dan kelompok ‘ manusia tidak lengkap’. Inti dari pembedaan dua kelompok manusia itu adalah kemampuan akal manusia yang telah sempurna dan kemampuan partisipasi pada politik. Pada kelompok ‘manusia lengkap’, manusia ini mempunyai kualitas mahkluk politik dan mahkluk social. ‘Manusia lengkap’ mampu berpikir secara dewasa. Ia juga mampu berbahasa dan berargumen dengan baik sebagai usaha mengkomunikasikan ide dalam pikirannya kepada sesamanya. Manusia yang masuk dalam kelompok ‘manusia lengkap’ ini adalah laki-laki dewasa.
Sisi lain, manusia yang masuk dalam kelompok manusia tidak lengkap adalah wanita, anak-anak, dan budak. Mereka masuk kelompok ‘manusia tidak lengkap’ karena mereka tidak punya cara untuk berpartisipasi secara penuh dalam politik. Anak-anak punya pertimbangan tetapi belum matang. Wanita juga mempunyai pertimbangan tetapi dalam bentuk yang berkuasa. Akan tetapi, bila wanita diisinkan dalam partispasi politik, maka wanita busa merusak konstitusi dan kebahagiaan kota. Hal ini terjadi karena wanita hidup dalam segala jenis kebebasan kebebasan dan kemudahan yang tidak berguna dan mengundang banyak kekacauan.
Budak sama sekali tidak mempunyai kemampuan pertimbangan yang mendalam. Budak merupakan seorang yang ditaklukkan oleh kekuatan dan kekuasaan. Hal ini dapat ketika perang, bahwa salah satu pihak yang kalah harus menjadi budak bagi pihak yang menang. Oleh karena itu, budak merupakan suatu barang hak milik bagi tuannya. Mereka hanya menjadi pelayan bagi tuannya.
Aristoteles juga memberikan definisi tentang warga negara. Pengertian warga negara ini sangat terkait dengan konstitusi dan bentuk negara yang ada. Warga negara merupakan seorang yang turut serta dalam administrasi keadilan dan pemangku jabatan. Ada partisipasi aktif dari warga negara untuk berpartisipasi aktif dalam tugas publik dan pelaksanaan politik.
Pendapat ini ingin menepis tentang pengertian warga negara yang salah. Pengertian warga negara yang salah adalah menjadi residen di sebuah tempat tertentu atau orang yang memiliki hak legal karena kontrak komersial. Jika hal ini terjadi, maka orang asing dan budak dapat menjadi warga negara yang legal dalam polis tertentu. Polis yang ada bukan lagi polis yang terbentuk secara alami tetapi polis buatan manusia yang dibentuk dari kontrak komersialnya.
Pengertian warga negara di atas mengisyaratkan arti pentingnya sebuah negara bagi manusia. Manusia membutuhkan negara untuk merealisasikan potensi moral mereka. Realisasi potensi moral membutuhkan aturan dan kontrol. Realisasi mencapai kesempurnaannya lewat sarana pelaksanaan hukum secara publik.
Aristoteles memberikan tiga bentuk negara yang sesuai dengan pengertian warga negara atau konstitusi. Tiga bentuk negara atau konstitus itu adalah monarki, aristokrasi dan ”Politea”. Monarki adalah sebuah bentuk konstitusi yang dipegang oleh satu orang yaitu raja. Monarki dapat sah apabila seorang raja memilki keunggulan di atas semua orang. Akan tetapi, konstitusi monarki akan jatuh pada konstitusi nurani ketika konstitusi menemukan seorang raja yang unggul.
Konstitusi kedua adalah aristokrasi. Aristokrasi adalah sebuah konstitusi yang dipimpin oleh beberapa orang yang dianggap baik. Konstitusi ini lebih baik daripada monarki karena para pemimpinnya mempunyai keutamaan intelektual dan moral. Kelemahan konstitusi kedua ini sama dengan monarki yaitu sulit menemukan orang-orang yang mempunyai kebaikan.
Konstitusi ketiga adalah politea atau pemerintahan konstitusional. Politea merupakan sebuah konstitusi yang dipimpin oleh kelas menengah. Konstitusi ini paling baik dan ideal diantara dua konstitusi sebelumnya. Ada dua alasan konstitusi ini ideal. Pertama adalah kepemimpinan konstitusi ini kebijaksanaan kolektif. Setiap individu memerikan kontribusi yang sama dalam negara. Kedua adalah kepemimpinan konstitusi ini membutuhkan pendidikan dan pelatihan. Tujuan dari pendidikan dan pelatihan adalah membentuk keahlian dalam memimpin. Akhirnya, tujuan politea adalah kebaikan bersama.
BAB III
Analisa Masalah
Penulis akan mencari penyebab terjadinya sebuah polis sebagai awal analisa ini. Empat penyebab itu antara lain adalah penyebab formal, penyebab material, penyebab efisien, dan penyebab final. Penyebab formal merupakan bentuk yang menyusun bahan. Penyebab material berhubungan dengan materi yang menyusun sesuatu. Penyebab efisien berhubungan dengan faktor yang menjalankan suatu kejadian. Penyebab final merupakan penyebab tujuan yang menjadi arah seluruh kejadian.
Dalam konsep negara Aristoteles, polis merupakan penyebab formal. Polis harus mempunyai warga negara (penyebab material). Setiap warga negara dalam polis berpartisipasi dalam politik (penyebab efisien). Akhirnya, setiap tindakan partisipasi warga negara harus diarahkan pada kebaikan bersama atau bonum commune (penyebab final).
Analisa penyebab polis ingin menerangkan bahwa polis yang terbentuk secara alamiah mempunyai unsur-unsur yang dapat dijelaskan secara rasional dan logis. Unsur-unsur penyebab itu bersifat komprehensif utuh. Jika salah satu unsur dalam polis tidak ada atau tidak terpenuhi, maka konsep negara Aristoteles tidak dapat disebut sebagai polis.
Indonesia sebagai negara yang mengedepankan partispasi rakyat belum memadahi disebut polis. Fenomena golput adalah salah satu penyebab bahwa Indonesia belum layak disebut sebagai polis. Unsur penyebab yang tidak ada atau yang belum terpenuhi dalam Indonesia adalah unsur efisien. Negara Indonesia masih kurang dalam partisipasi rakyat dalam politik.
Unsur efisien yang tidak terpenuhi sangat berpengaruh terhadap unsur penyebab final. Pengaruhnya adalah kebaikan yang dituju bukan kebaikan bersama tetapi kebaikan pribadi atau kelompok. Warga negara yang golput mempunyai kebaikan sendiri yang melepaskan diri dari kebaikan bersama. Mereka tidak mentaati konstitusi atau aturan-aturan yang berlaku dalam negara.
Menurut Aristoteles, penyebab kurangnya partisipasi adalah warga negara tidak mempunyai keutamaan moral dan keutamaan intelektual. Keutamaan moral memungkinkan manusia memilih jalan tengah di antara dua ekstrem yang berlawanan.[25] Bentuk keutamaan moral adalah sebuah tindakan nyata yang didasarkan pada faktor-fakor pribadi. Tindakan memilih jalan tengah merupakan tindakan yang baik. Di sisi lain, keutamaan intelektual merujuk pada kemampuan rasional manusia untuk mengetahui kebenaran dan memutuskan suatu tindakan dalam keadaan tertentu.
Dua keutamaan ini wajib dimiliki oleh semua warga negara baik mereka yang memimpin maupun yang dipimpin. logika yang digunakan adalah seorang pemimpin datang dari rakyat. Ia dipilih menjadi pemimpin karena ia mempunyai kualitas lebih bila dibandingkan dengan rakyat yang lain. Pemimpin menjadi panutan dan teladan bagi rakyat yang dipimpinnya.
Situasi fenomena golput adalah pemimpin atau calon pemimpin tidak mempunyai kualitas keutamaan moral dan keutamaan intelektual. Hal ini mungkin terjadi karena para pemimpin dipilih karena kontrak komersial. Mereka menjadi pemimpin bukan karena kesadaran akan pentingnya hidup bersama. Ada dua implikasi utama dari situasi ini adalah masyarakat tidak percaya lagi kepada para pemimpin dan calon pemimpin dalam pemilu. Mereka beranggapan bahwa mereka hanya digunakan sebagai obyek untuk memenuhi ’kebaikan’ pemimpin saja. Akhirnya, mereka menjadi apatis terhadap pemimpin dan sikap hidup bersama.
BAB IV
Penutup
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari analisa adalah warga negara membutuhkan keutamaan moral dan keutamaan intelektual dalam hidup bersama. Dua keutamaan moral ini dapat membantu manusia dan warga negara mencapai kebaikan bersama. Cara menumbuhkan dua keutamaan ini adalah warga negara harus diberi pendidikan dan pelatihan sebagai warga negara yang baik sejak kecil.
Tanggapan Kritis
Teori partisipasi politik tidak dapat diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan Bangsa Indonesia. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu luasnya wilayah dan banyaknya penduduk negara Indonesia. Teori partisipasi politik ini hanya cocok diterapkan pada negara yang mempunyai luas wilayah yang tidak terlalu besar atau kecil dan jumlah penduduk yang terlalu banyak atau sedikit.
Faktor kedua adalah teori partisipasi ini meyimpan kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki dianggap lebih tinggi dariapada kaum perempuan. Jika hal yang dibutuhkan untuk menjadi warga negara adalah keutamaan moral dan intelektual, maka kaum perempuan dapat berpartisipasi penuh dalam politik.
Sumber Pustaka
- Aristoteles, Politik (diterjemahkan dari buku Politics, Oxford UniversityPress), Yogyakarta, Bentang Budaya, 2004.
- Bertens, K., Sejarah Filsafat Yunani, Kanisus, Yogyakarta, 1999.
- Klote, Yosef Keladu, Partisipasi Politik: Sebuah Analisa Atas Etika Politik Aristoteles, Maumere, Penerbit Ledalero, 2010.
- Revitch, Diane dan Thernstorm, Abigail (editor), Demokrasi Klasik dan Modern (terjemahan dari The Democracy reader: Classic and Modernn Speeches, Essays, Poems, Declaration, dan Document on Freedom and Human Rights Worldwide), Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Labels:
Aristoteles,
Opini,
Sejarah
1/18/2014
Golput Juga Pilihan
Pendidikan politik seperti ini sebenarnya menyesatkan masyarakat. Secara politis “ GOLPUT “ juga sebagai pilihan, jadi para elit dan tim sukses tidak mempunyai kekuatan hukum pasti terhadap masyarakat atau seseorang untuk melakukan itu. Pasalnya satu kata tersebut juga sudah merupakan pilihan. Cuma yang menjadi permasalahan disini adalah rasa ketakutan dari para pendukungnya saja, sehingga mereka selalu berbuat agar calon yang didukungnya itu berhasil.
Rasa ketakutan yang berlebihan itu justru akan membawa dampak negative terhadap kandidat calon yang diusungnya. Sehingga mereka berusaha bagaimana dapat memastikan warga masyarakat datang ke TPS untuk memberikan suaranya.
Sebagai negara yang sudah memakai system demokratis, tentunya tidak perlu merasa takut dan khawatir, masyarakat secara harfiah sudah memahami. Justru kalau masalah itu selalu diangkat kepermukaan justru akan lebih berbahaya terutama bagi kandidat yang diusungnya. Sehingga akan memberi peluang kepada lawannya untuk memantapkan strateginya. Kalau memang persiapan dari kandidat yang dijadikan jagonya mempunyai program pasti, program kerakyatan, masyarakat akan lebih bisa memahami, karena selama ini, program-program yang dibawa dan disajikan ke masyarakat belum bisa dijadikan suatu program yang mampu mengangkat pola kehidupan masyarakat.
Seandainya programnya itu mampu mengangkat kehidupan masyarakat, baik yang bersifat kerakyatan maupun program – program kehidupan lainnya seperti macet, kemiskinan, banjir, pendidikan, serta program-program andalan lainnya dapat membuka cakrawala berfikir masyarakat ataupun dapat merubah tatanan yang ada khususnya di Jakarta.
Jakarta sebagai sebuah kota metropolitan bahkan konon kabarnya akan dijadikan sebagai kota megapolitan sudah sepatutnya kandidat calon gubernur kedepan dapat melakukan renovasi kondisi dan keberadaan perangkat yang ada di Jakarta ini kearah yang sesungguhnya bukan sekadar planning semata. Apa bila masih saja berkutet pada persoalan-persoalan seperti itu, apa gunanya kita mengadakan PEMILUKADA. Sementara masyarakat berkeinginan adanya suatu perubahan. Namun kenyataannya tidak ada sama sekali, biaya sudah banyak dikeluarkan untuk satu dukungan dalam PEMILUKADA tapi wujudnya sama sekali kosong.
Saya tidak menganjurkan masyarakat untuk “ GOLPUT “ apa lagi mengajak mereka kearah itu, karena itu adalah sudah menjadi pilihan politik mereka. Tulisan ini hanya sebagai sebuah refleksi bagi para tim sukses maupun partai pendukung serta kandidat itu sendiri, jangan sampai mengkebiri mereka masuk kedalam permainan yang tidak mendidik tersebut.
Biarkan rakyat memilih, kita tidak punya hak untuk mencegah mereka. Masyarakat Jakarta sudah dewasa dalam menentukan pilihannya, masyarakat Jakarta sudah pandai dalam berpolitik, sekalipun mereka tidak pernah bermain dengan politik apa lagi masuk dalam dunia politik. Rasanya janggal, diera demokrasi masih ada tekanan-tekanan terhadap masyarakat untuk tidak bersikaf dewasa dalam berpolitik. Pemahaman politik yang keliru itu sesungguhnya akan memberi pengaruh negative sangat besar baik terhadap kandidat calon maupun para elit itu sendiri.
Untuk itu, bersikaflah dewasa didalam melakukan propaganda politik. Jangan rakyat dijadikan kambing hitam elit untuk berbuat mengikuti kepentingan serta kemauan para elit politik, berikan pendidikan politik kepada masyarakat, yang benar, jangan diintimidasi rakyat hanya untuk kepentingan sesaat. PEMILUKADA adalah salah satu bahagian kecil dari pesta demokrasi tahunan untuk menentukan masa depan wilayah, menentukan nasib rakyat lima tahun kedepan.
Bila pendidikan politik seperti itu dari tahun ketahun, diberikan kepada masyarakat lalu sampai kapan masyarakat akan mandiri didalam menentukan pilihannya.
Rasa ketakutan yang berlebihan itu justru akan membawa dampak negative terhadap kandidat calon yang diusungnya. Sehingga mereka berusaha bagaimana dapat memastikan warga masyarakat datang ke TPS untuk memberikan suaranya.
Sebagai negara yang sudah memakai system demokratis, tentunya tidak perlu merasa takut dan khawatir, masyarakat secara harfiah sudah memahami. Justru kalau masalah itu selalu diangkat kepermukaan justru akan lebih berbahaya terutama bagi kandidat yang diusungnya. Sehingga akan memberi peluang kepada lawannya untuk memantapkan strateginya. Kalau memang persiapan dari kandidat yang dijadikan jagonya mempunyai program pasti, program kerakyatan, masyarakat akan lebih bisa memahami, karena selama ini, program-program yang dibawa dan disajikan ke masyarakat belum bisa dijadikan suatu program yang mampu mengangkat pola kehidupan masyarakat.
Seandainya programnya itu mampu mengangkat kehidupan masyarakat, baik yang bersifat kerakyatan maupun program – program kehidupan lainnya seperti macet, kemiskinan, banjir, pendidikan, serta program-program andalan lainnya dapat membuka cakrawala berfikir masyarakat ataupun dapat merubah tatanan yang ada khususnya di Jakarta.
Jakarta sebagai sebuah kota metropolitan bahkan konon kabarnya akan dijadikan sebagai kota megapolitan sudah sepatutnya kandidat calon gubernur kedepan dapat melakukan renovasi kondisi dan keberadaan perangkat yang ada di Jakarta ini kearah yang sesungguhnya bukan sekadar planning semata. Apa bila masih saja berkutet pada persoalan-persoalan seperti itu, apa gunanya kita mengadakan PEMILUKADA. Sementara masyarakat berkeinginan adanya suatu perubahan. Namun kenyataannya tidak ada sama sekali, biaya sudah banyak dikeluarkan untuk satu dukungan dalam PEMILUKADA tapi wujudnya sama sekali kosong.
Saya tidak menganjurkan masyarakat untuk “ GOLPUT “ apa lagi mengajak mereka kearah itu, karena itu adalah sudah menjadi pilihan politik mereka. Tulisan ini hanya sebagai sebuah refleksi bagi para tim sukses maupun partai pendukung serta kandidat itu sendiri, jangan sampai mengkebiri mereka masuk kedalam permainan yang tidak mendidik tersebut.
Biarkan rakyat memilih, kita tidak punya hak untuk mencegah mereka. Masyarakat Jakarta sudah dewasa dalam menentukan pilihannya, masyarakat Jakarta sudah pandai dalam berpolitik, sekalipun mereka tidak pernah bermain dengan politik apa lagi masuk dalam dunia politik. Rasanya janggal, diera demokrasi masih ada tekanan-tekanan terhadap masyarakat untuk tidak bersikaf dewasa dalam berpolitik. Pemahaman politik yang keliru itu sesungguhnya akan memberi pengaruh negative sangat besar baik terhadap kandidat calon maupun para elit itu sendiri.
Untuk itu, bersikaflah dewasa didalam melakukan propaganda politik. Jangan rakyat dijadikan kambing hitam elit untuk berbuat mengikuti kepentingan serta kemauan para elit politik, berikan pendidikan politik kepada masyarakat, yang benar, jangan diintimidasi rakyat hanya untuk kepentingan sesaat. PEMILUKADA adalah salah satu bahagian kecil dari pesta demokrasi tahunan untuk menentukan masa depan wilayah, menentukan nasib rakyat lima tahun kedepan.
Bila pendidikan politik seperti itu dari tahun ketahun, diberikan kepada masyarakat lalu sampai kapan masyarakat akan mandiri didalam menentukan pilihannya.
Labels:
Opini,
Perlawanan
1/18/2014
Jangan Takut Golput
Golput bukanlah sesuatu yang haram tetapi gerakan atau pola yang terstrukur dan mengarah pada sebuah ajakan sistimatis itu sama saja dengan membunuh demokrasi dan telah masuk dalam domain teroris. Untuk itu perlu dibuat semacam aturan tersendiri menyangkut keberadaan golput tersebut. Ini guna menghindari kesimpangsiuran ditengah-tengah masyarakat. Disatu sisi pemerintah pun perlu lebih concern dengan suara-suara masyarakat yang menyerukan golput.
Jadi perdebatan tentang keberadaan golput adalah sesuatu yang positif sepanjang kita mau meletakkan pikiran dalam satu wadah besar yaitu demokrasi. Adalah hak setiap warga untuk tidak memberikan pilihannya dan juga sebaliknya kewajiban bagi institusi demokrasi untuk memberikan pilihan-pilihan terbaik bagi warga negara. Terbaik dalam arti bisa diterima oleh akal sehat dan akuntabilitas.
Sekali lagi memandang keberadaan warga masyarakat yang golput tidak bisa melalui satu sisi saja. Bahwasannya aspirasi yang dibawakan tidak tersalur maka larinya ke golput. Tetapi golput adalah salah satu bentuk pilihan juga yang bermakna teguran atau sindiran terhadap sistim dan mekanisme yang sedang berjalan. Jadi tidak perlu memberi reaksi yang berlebihan dalam menyikapi sikap warga untuk golput. Hanya saja, adalah tanggung jawab kita semua untuk mendengarkan atau lebih tepatnya mengolah suara-suara kekecewaan tersebut sehingga bisa menjadi bunga-bunga bagi demokrasi sehingga lebih indah dipandang dunia.
Jadi perdebatan tentang keberadaan golput adalah sesuatu yang positif sepanjang kita mau meletakkan pikiran dalam satu wadah besar yaitu demokrasi. Adalah hak setiap warga untuk tidak memberikan pilihannya dan juga sebaliknya kewajiban bagi institusi demokrasi untuk memberikan pilihan-pilihan terbaik bagi warga negara. Terbaik dalam arti bisa diterima oleh akal sehat dan akuntabilitas.
Sekali lagi memandang keberadaan warga masyarakat yang golput tidak bisa melalui satu sisi saja. Bahwasannya aspirasi yang dibawakan tidak tersalur maka larinya ke golput. Tetapi golput adalah salah satu bentuk pilihan juga yang bermakna teguran atau sindiran terhadap sistim dan mekanisme yang sedang berjalan. Jadi tidak perlu memberi reaksi yang berlebihan dalam menyikapi sikap warga untuk golput. Hanya saja, adalah tanggung jawab kita semua untuk mendengarkan atau lebih tepatnya mengolah suara-suara kekecewaan tersebut sehingga bisa menjadi bunga-bunga bagi demokrasi sehingga lebih indah dipandang dunia.
Labels:
Opini,
Perlawanan
1/18/2014
Golput Adalah Bentuk Perlawanan
Golput (golongan putih) adalah salah satu bentuk perlawanan terhadap praktik politik dari orang-orang yang kecewa terhadap penyelenggaraan negara dengan cara tidak memilih partai atau legislator (dalam pemilu legislatif) atau Presiden (dalam pemilu Presiden).
Mereka yang golput sebagian besar menganggap para penyelenggara negara dan partai-partai yang ada tidak menyuarakan dan pro-kebaikan berpolitik. Jadi, daripada memilih partai yang ada lebih baik tidak memilih siapa pun. Anggapan mereka, partai-partai yang ada akan berperilaku buruk pula bila memenangkan pemilu.
Golput bukanlah organisasi yang diatur oleh instrumen peraturan. Itu juga tidak dikoordinasi melalui sistem manajemen. Golput sekadar penyebutan kepada akumulasi pribadi-pribadi yang tidak ikut pemilu atau ikut pemilu tetapi dengan cara merusak surat suara. Mereka tidak mengenal satu sama lain dan biasanya tidak dikenali, bahkan oleh orang yang terdekat, sekalipun. Tentu saja, ada beberapa orang yang berani mendeklarasikan dirinya adalah golput.
Pengertian golput di atas terbatas pada orang-orang yang secara sadar menentukan pilihan dengan cara tidak memilih. Lebih luas, golput juga mencakup orang-orang yang tidak memilih dengan berbagai alasan yang di luar kuasanya, misalnya tidak tercantum di daftar pemilih tetap, perantau yang tekendala administrasi, tekanan dari pihak lain untuk tidak memilih, kurang kesadaran politiknya, dan kelalaian.
Apakah golput dilarang? Sejauh pengetahuan saya, di negara-negara yang menganut azas demokrasi golput tidak dilarang. Ini mengacu pada prinsip bahwa tidak memilih pun merupakan suatu pilihan. Orang tidak bisa dipaksa untuk memilih terhadap pilihan-pilihan yang menurut penilaiannya tidak ada yang sesuai dengan prinsip politiknya. Di Indonesia, sejauh ini belum ada ketentuan Undang Undang orang yang golput.
Bagaimana dengan orang yang mengajak orang lain untuk golput? Undang Undang kita pun belum secara eksplisit melarang orang untuk itu. Berdasarkan penafsiran hukum, ketentuan hukum terhadap golput terbelah menjadi dua kelompok. Ada kelompok yang berpendapat golput bisa dipidana berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu legislatif:
Pasal 283
Setiap orang yang membantu Pemilih yang dengan sengaja memberitahukan pilihan Pemilih kepada orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Catatan:
Pasal 157
(1) Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai halangan fisik lain pada saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaan Pemilih.
(2) Orang lain yang membantu Pemilih dalam memberikan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan Pemilih.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian bantuan kepada Pemilih diatur dengan peraturan KPU.
Pasal 291
Setiap orang yang mengumumkan hasil survei atau jajak pendapat tentang Pemilu dalam Masa Tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
Catatan:
Kaitannya dengan golput adalah ketika survei atau jajak pendapat itu juga terkait dengan golput. Misalnya, jajak pendapat yang menyebutkan persentase golput sehingga memengaruhi orang untuk memilih golput alih-alih memilih kontestan pemilu.
Pasal 301
(3) Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
Pasal 308
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan, dan/atau menghalangi seseorang yang akan melakukan haknya untuk memilih, melakukan kegiatan yang menimbulkan gangguan ketertiban dan ketenteraman pelaksanaan pemungutan suara, atau menggagalkan pemungutan suara dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Beberapa pasal tersebut dalam batasan tertentu memang dapat memidanakan orang yang mengajak golput dengan pemaksaan, baik secara fisik, psikis (karena kedudukannya sehingga memiliki kuasa), maupun secara finansial. Bagaimana jika seorang golput mengajak orang lain tanpa paksaan, misalnya memberikan opini? UU tidak mengaturnya secara eksplisit.
Golput sebagai instrumen perlawanan diam
Menurut KPU (VivaNews, 6/12/2013), pada pemilu legislatif 2009 partisipasi pemilih sebesar 71%. Artinya jumlah golput (dalam arti longgar) terdapat 29%. Sedangkan menurut perkiraan berbagai sumber jumlah golput pada pemilu Presiden 2009 sebesar 40%. Angka-angka golput ini cukup tinggi.
Angka golput yang tinggi berdampak pada longgarnya dukungan kepada pemerintah yang berkuasa (rezim) sehingga berdampak pula pada dukungan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Mungkin secara riil, golput tidak terasa dampaknya secara signifikan. Namun, perlawanan diam dalam bentuk golput ini akan segera menjadi perlawanan yang masif dan agresif ketika bertemu dengan isu-isu besar yang diungkapkan dalam bentuk demonstrasi menentang kebijakan pemerintah.
Dinegara yang para politikusnya koruptif dan manipulatif disertai manuver yang licik sehingga mampu membentuk citra diri dan partai sebagai sosok pembela kepentingan rakyat, golput malah menguntungkan. Hal ini dikarenakan biasanya kaum golput enggan, acuh-tak acuh, atau tahu diri bahwa dirinya golput sehingga tidak terlalu vokal ketika mengkritik pemerintah hasil pemilu. Tentu saja di dalam konteks ini juga berlaku hukum perkecualian.
Partai pemenang pemilu dalam atmosfer politik yang koruptif dan manipulatif tersebut diuntungkan juga dari adanya golput dengan argumentasi yang mirip dengan argumen perilaku politik kaum golput di atas.
Partai-partai konservatif yang kalah pemilu juga diuntungkan dengan adanya golput ini saat mereka sudah tidak mampu lagi meyakinkan kaum golput untuk memilih partainya. Mereka beranggapan bahwa tokoh-tokoh golput lebih baik berada di lingkaran golput daripada mereka berada di partai lain, terlebih lagi bila berada di partai pemenang pemilu. Ini karena kekuatan argumentatif yang biasanya dimiliki tokoh-tokoh golput. Realitas politik mengindikasikan bahwa kaum golput yang sadar dirinya memilih golput biasanya adalah kaum yang relatif memiliki pengetahuan politik yang lumayan cerdas, daya kritis yang tajam, dan status sosial-ekonomi menengah atas.
Di luar itu semua, idealnya dalam negara yang mengedepankan kebersamaan, tidak ada rakyat yang golput. Negara dianggap sebagai urusan bersama demi kesejahteraan bersama sehingga perlu dibenahi oleh seluruh komponen dalam masyarakat secara bersama-sama. Namun, kenyataannya adalah sulit untuk meniadakan golput sama sekali.
Hal yang perlu dilakukan untuk meminimalkan golput adalah dengan mempraktikkan politik yang mulia, yang dilakukan seadil mungkin, sejujur mungkin, sebersih mungkin disertai niat untuk memperbaiki dan memuliakan negaranya. Bagaimanapun, kinerja politik suatu bangsa akan lebih baik hasilnya bila dilakukan secara gotong-royong yang melibatkan semua komponen masyarakat. Bila tidak demikian, maka golput akan semakin besar dan menjadi duri di dalam daging dalam praktik politik bangsa.
Labels:
Opini,
Perlawanan
1/18/2014
Fenomena Golput
Jika diartikan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, fenomena adalah suatu kejadian atau peristiwa yang tidak biasa, akan tetapi nyata ada/terjadi. Misalnya jika selama ini diketahui siang hari mempunyai waktu sekitar 6 jam, maka di wilayah Utara bisa mencapai 18 jam. Jika ada diketahui ada sebanyak 5 pilihan untuk capres/cawapres, maka ketika selesai dilakukan penghitungan suara terdapat 1 pilihan tambahan, yaitu tidak memilih. Dikatakan luar biasa karena jika jumlahnya terlalu besar, maka akan berpengaruh terhadap legalitas partai ataupun kandidat yang memenangi pemilihan (vote result).
Dikatakan luar biasa pula karena sikap golput atau sikap untuk tidak memilih (no decision vote) akan lebih banyak merugikan partai politik itu sendiri. Misalnya kepercayaan dari pendukung-pendukung dana menjadi berkurang dan resiko kerugian finansial apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk dilakukan pemilihan ulang.
Pada prinsipnya, bukan hanya Indonesia saja yang memiliki masalah dengan pembinaan demokrasi. Negara-negara yang sudah lebih dulu maju demokrasinya yang disertai dengan pendewasaan politik yang tinggi pun sering bermasalah dengan sikap golput. Kaukus-kaukus politik terus diupayakan oleh partai politik dengan menghabiskan dana yang cukup besar hanya untuk menekan tingginya angka golput.
Kita bisa melihat negara seperti Amerika yang sudah sangat maju itu saja bersusah payah menggalang koalisi partai-partai politik (25 parpol) untuk meminimalisasikan resiko menculnya golput. Selain disebut sebagai fenomena dalam demokrasi, sikap golput juga merupakan resiko politik. Jika di Indonesia persentase golput mencapai 45% sudah mulai dijadikan masalah nasional, maka parpol-parpol di Amerika sudah mulai panik jika angka golput mencapai di atas 10%, termasuk juga parpol besar seperti Demokrat dan Republik.
Dikatakan luar biasa pula karena sikap golput atau sikap untuk tidak memilih (no decision vote) akan lebih banyak merugikan partai politik itu sendiri. Misalnya kepercayaan dari pendukung-pendukung dana menjadi berkurang dan resiko kerugian finansial apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk dilakukan pemilihan ulang.
Pada prinsipnya, bukan hanya Indonesia saja yang memiliki masalah dengan pembinaan demokrasi. Negara-negara yang sudah lebih dulu maju demokrasinya yang disertai dengan pendewasaan politik yang tinggi pun sering bermasalah dengan sikap golput. Kaukus-kaukus politik terus diupayakan oleh partai politik dengan menghabiskan dana yang cukup besar hanya untuk menekan tingginya angka golput.
Kita bisa melihat negara seperti Amerika yang sudah sangat maju itu saja bersusah payah menggalang koalisi partai-partai politik (25 parpol) untuk meminimalisasikan resiko menculnya golput. Selain disebut sebagai fenomena dalam demokrasi, sikap golput juga merupakan resiko politik. Jika di Indonesia persentase golput mencapai 45% sudah mulai dijadikan masalah nasional, maka parpol-parpol di Amerika sudah mulai panik jika angka golput mencapai di atas 10%, termasuk juga parpol besar seperti Demokrat dan Republik.
1/17/2014
Sejarah Golput
Written By Unknown on 1/17/2014 | 1/17/2014
Pemilu disajikan untuk mengetahui keinginan dan kehendak masyarakat tentang apa dan siapa dalam ukuran logika rakyat yang layak untuk memimpin, memberikan perubahan ataupun perbaikan nasib bagi seluruh rakyat dalam suatu negara.
Partisipasi menjadi penting guna menentukan dan menilai penguasa. Pada masa orde baru, penguasa bercorak militeristik begitu kuat, kelompok civil society tak berdaya membendung berbagai kebijakan tak populis. Kondisi demikian mendorong sekelompok intelektual yang dikomandoi Arif Budiman untuk menentang ketidak adilan struktural lewat gerakan moral. Gerakan moral ini kemudian dikenal dengan golongan putih (golput) yang dicetuskan pada 3 Juni 1971, sebulan menjelang pemilu.
Pada awalnya golput merupakan gerakan untuk melahirkan tradisi di mana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apapun. Gerakan itu lahir didorong oleh kenyataan bahwa dengan atau tanpa pemilu, sistem politik waktu itu tetaplah bertopang kepada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Lebih-lebih dengan berbagai cara, penguasa melindungi dan mendorong kemenangan Golongan Karya (Golkar), sehingga meminggirkan partai politik lain yang berjumlah 10 kontestan untuk dapat bertanding merebut suara secara fair. Jadi, dalam konteks ini, cikal bakal golput merupakan gerakan moral yang ditujukan sebagai “mosi tidak percaya” kepada struktur politik yang coba dibangun oleh penguasa waktu itu.
Gerakan moral ini memberikan kesan pada publik bahwa putih disebandingkan dengan lawannya, yakni hitam, kotor. Pada perkembangan berikutnya, golput dimaknai sebagai protes dalam bentuk ketidakhadiran masyarakat ke tempat pemungutan suara atau keengganan menggunakan hak suaranya secara baik, atau dengan sengaja menusuk tepat dibagian putih kertas suara dengan maksud agar surat suara menjadi tidak sah, dan dengan tujuan agar kertas suara tidak disalah gunakan oleh pihak tertentu untuk kepentingan tertentu pula. Golput juga dimaknai sebagai prilaku apatisme (jenuh) dengan tema-tema pemilihan.
Kejenuhan tersebut disebabkan oleh suatu kondisi psikologis masyarakat yang hampir tiap tahun mengalami pemilu, pilgub, pilkada dan bahkan pilkades. Disisi lain, penyelenggaraan pemilu yang berulang-ulang tak juga memberikan banyak hal terkait perbaikan nasib bagi masyarakat. Pada titik tertentu rasa jenuh tersebut sampai pada rasa tak peduli apakah dirinya masuk dalam daftar pemilih tetap atau tidak sama sekali. Dengan kata lain, golput merupakan akumulasi sikap jenuh masyarakat terhadap seputar pemilu baik janji politik, money politik dan kekerasan politik dan kondisi-kondisi pasca reformasi yang tak kunjung membaik.
Sementara itu Priyatmoko mengartikan golput sebagai keengganan masyarakat menggunakan hak pilihnya pada event pemilu baik pemilihan legislatif, pemilihan presiden maupun kepala daerah disebabkan rasa kecewanya pada sistem politik dan pemilu yang tak banyak memberikan perubahan apapun bagi kehidupan masyarakat. Lain kata, masyarakat dalam taraf ini telah berada dalam taraf kesadaran dalam memaknai pemilu. Bahwa setiap tindakan mereka dikaitkan dengan pertimbangan asas timbal balik secara seimbang.
Dari beberapa pengertian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa golput adalah pilihan tidak memilih sebagai bentuk akumulasi rasa jenuh (apatis) masyarakat yang nyaris setiap tahun mengalami pemilihan kepala daerah, golput juga sebagai reaksi atau protes atas pemerintahan dan partai-partai politik yang tidak menghiraukan suara rakyat, perlawanan terhadap belum membaiknya taraf kehidupan masyarakat baik secara ekonomi, politik, hokum dan budaya. Golput merupakan respon atas ketidakmampuan partai atau penguasa dalam menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat yang telah menerima mandat.
Labels:
Golput,
Pengertian Golput,
Sejarah




















